Google
Search WWW Search care4lupus.blogspot.com

Tuesday, May 10, 2005

Selasa, 06 Januari 2004 - Republika
source


Gejala utama dari sindrom ini menyerang semua pembuluh darah berbagai ukuran seperti aorta, arteri karotis, arteri pulmonalis, dan arteri kecil. Pada masa kehamilan, seringkali terdengar kejadian keguguran berulang, preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, dan efek negatif lainnya. Rupanya, efek negatif selama kehamilan ini terjadi sebagai gejala dari penyakit sindrom antiphospolipid (APS).

APS dikenal sejak tahun 1986 yang merupakan penyakit dengan gejala gabungan antara antibodi antiphospolipid (APA) dan trombosis arteri atau venna, serta kejadian lainnya. Karena itu, APS sering dikenal juga dengan syndrome of clotting (trombosis).

Menurut Prof Karmel L Tambunan SpPD (KHOM), APA adalah antibodi IgG, IgM, atau IgA yang terjadi akibat penyakit autoimun atau reaksi terhadap infeksi atau obat. Sebenarnya, namanya bukan dari phospolipid, tapi satu protein, seperti beta-2-glycoprotein-1 atau protrombin. ''APA ini dalam klinis yang terpenting, yaitu antikoagulan lupus (LA), dan antibodi antikardiolipin (ACA),'' jelas Karmel dalam diskusi tentang APS di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dikatakannya, pada lupus erythematosus systemis (LES), kedua antibodi bisa ditemukan bersamaan. Pasien dengan LA sering disertai hasil serologis sifilis palsu karena kardiolipin yang dipakai sebagai komponen utama antigen pada pemeriksaan veneral disease research laboratory (VDRL). Pada VDRL, anionik phospolipid dapat bereaksi dengan APA. ''Antikoagulan lupus sering menimbulkan salah pengertian. LA tak hanya ditemukan pada LES, tapi pada penyakit keganasan lain seperti lipoproliferatif dan infeksi HIV,'' sambungnya.

Ada dua jenis APS, yaitu primer tanpa disertai LA dan menyerang pembuluh darah besar serta bersifat genetik. Jenis kedua adalah APS sekunder dengan LA, yang berhubungan dengan penyakit autoimun, keganasan, infeksi, atau pemakaian obat-obatan.

Gejala utama dari sindrom ini menyerang semua pembuluh darah berbagai ukuran seperti aorta, arteri karotis, arteri pulmonalis, dan arteri kecil. Ini sebabnya, semua organ dapat terkena seperti retina dan kulit. APS dapat menyebabkan trombosis arteri atau vena yang menyebabkan gejala kabur atau buta.

Untuk mendeteksi APS, lanjut Karmel, ada dua pemeriksaan, yaitu dengan melihat tingkat ACA dan LA. ACA diperiksa dengan cara ELISA, sedangkan LA diperiksa denan efeknya terhadap koagulasi darah yang meningkatkan masa pembekuan yang tergantung pada phospolipid.

Gangguan pada kehamilan
Dikaitkan dengan masa kehamilan, jika ditemukan ACA pada seorang perempuan hamil, maka angka terjadinya keguguran akan meningkat sebanyak 2,6 kali. Selain itu, risiko atau kemungkinan terjadinya preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat sebanyak 6 kali.

Berdasarkan pengamatan pada beberapa kasus keguguran, didapatkan 30 persen di antaranya mengandung ACA. Pengamatan lain mendapatkan, pada penderita preeklampsia, 88,1 persen mengandung IgG ACA dan 45,24 persen mengandung IgM ACA. Sindrom keguguran berulang yang diakibatkan APS, didasari karena adanya gangguan hemostasis yang mengarah pada suatu kondisi trombosis. Gejala klinis APS bervariasi dari yang tingkat sedang hingga akut. Pada tahap akut, terjadi migrain berulang, gangguan penglihatan, disarthia, trombosis vena dalam, dan keguguran berulang. Tahap berat terjadi dengan gagal katup jantung yang akut, trombositopenia, stroke mayor, dan trombosis yang menyebar.

Seperti dijelaskan tadi, APS bisa menyerang semua organ. Antibodi ini dapat persisten beberapa tahun. Bahkan, pada sejumlah kecil pasien, keberadaan antibodi ini bisa bertahan seumur hidup. Pada kasus APA, dilaporkan terjadi abortus spontan yang berulang. Karena itu, pada perempuan dengan abortus dua kali atau lebih tanpa sebab jelas, perlu dilakukan pemeriksaan antikardiolipin. Mekanisme abortus diduga karena trombosis di daerah plasenta dan dimulai sejak awal kehamilan. Dalam penelitian pada 100 pasien dengan APA dan yang mengalami trombosis sebelumnya, ditemukan abortus 81 persen kasus.

Gejala APA adalah abortus yang sering pada trisemester pertama karena trombosis plasenta. Kematian janin yang berulang pada trisemester kedua dan ketiga, juga karena sebab trombosis atau vaskulitis plasenta, dan trombositopenia.

Perempuan dengan APA, berisiko keguguran janin 50 sampai 75 persen. Dengan pengobatan antikoagulan dan antiagregasi trombosit, berhasil meningkatkan kehamilan normal sampai 80 persen.

Meski begitu, Karmel menegaskan bahwa mekanisme terjadinya fetal loss pada APS masih belum jelas. Serum pasien dengan APS yang disertai kehilangan fetus, mengandung antibodi reaktif trophoblast yang dapat menyokong perkembangan insufisiensi plasenta dengan meningkatkan produksi tromboksan A2.

Pengobatan
Berdasarkan patogenesis terjadinya trombosis, maka pengobatan yang logis menurut Karmel, adalah antikoagulan dan antiagregasi trombosit. Pada APS sekunder, selain kedua jenis tadi, ditambah pula obat imunosupresi untuk menghilangkan antibodi. ''Karena APA dan APS sebagai penyebab trombosis, maka pengobatan dengan antitrombosis, seperti warfarin dan aspirin, paling masuk akal,'' ujarnya mengutip pendapat HLC Beynon tentang penyakit APS ini.

Ada beberapa bukti yang menunjukkan, bila pengobatan antitrombosis dihentikan pada pasien APS, maka akan terjadi trombosis lagi. Soal lamanya pengobatan, bisa berlangsung lama tergantung dari tingkat positifnya ACA. Pemberian steroid tak bermanfaat, bahkan menyebabkan komplikasi. Steroid hanya diberikan jika disertai penyakit autoimun. Pada APA dengan kehilangan kehamilan, bila tak diobati, akan mendapatkan kesempatan melahirkan anak hidup sebesar 10 sampai 20 persen. Bila pasien APA yang belum pernah kehilangan fetus, kemungkinan untuk itu sebesar 15 sampai 25 persen.

Pengawasan ketat, lanjut pakar di Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ini, diperlukan pada semua perempuan hamil dengan APA. Analisis dengan Doppler aliran daerah arteri umbilivus pada APA harus diikuti untuk mengukur dan mengetahui perfusi plasenta. Aliran darah yang terbalik atau tak ada, merupakan petunjuk hasil fetus yang buruk, preeklampsia, atau pertumbuhan retardasi di dalam uterus.

Pada laporan penelitian lainnya, pemberian prednison kurang dari 40 miligram per hari sendiri atau kombinasi aspirin, ada perbaikan hasil pada perempuan hamil. Namun, pada penelitian selanjutnya, prednison dilaporkan tak ada manfaatnya.

Pengobatan lainnya adalah kombinasi heparin dan aspirin. Pada pasien hamil, warfarin dihentikan dan digantikan dengan low molecular weight heparin (LMWH) berupa Nadroparin Calcium. Pengobatan ini diterapkan pada lebih dari seratusan kasus APS.

Hasil kehamilan pada kelompok yang mendapatkan heparin dan aspirin, adalah 16 kasus lahir dengan aterm (88 persen), 2 kasus keguguran, dan empat kasus masih hamil. Pada kelompok yang mendapatkan nadroparin dan aspirin, 66 kasus lahir aterm (95,5 persen), 3 kasus keguguran, dan 20 kasus masih hamil.

Bila dibandingkan antara kedua langkah pengobatan ini, kurang lebih terjadi efek yang sama baik, yaitu tak ada pendarahan, tak ada gejala sakit pada pinggang, sedikit kasus alergi atau gatal, dan seringnya pendarahan hematoma pada suntikan.

(wed)


Blogged on 8:50 AM

|

Comments: Post a Comment

~~~