Google
Search WWW Search care4lupus.blogspot.com

Wednesday, March 09, 2005

Selain AIDS yang pendatang baru, ada juga penyakit lama yang belum bisa disembuhkan, yakni lupus. Penyakit yang dijuluki si Peniru Ulung ini sering dikira penyakit lain. Kalau sedang aktif, tak kalah mengerikan dibandingkan dengan AIDS. Wanita yang semula berparas cantik bisa kehilangan kecantikannya.

Timbulnya ruam merah mirip kupu-kupu di wajah merupakan salah satu gejala lupus. Kulit wajah di antara kedua pipi ditandai ruam merah yang bentuknya menyerupai kupu-kupu. Di bagian tubuh lain muncul bercak-bercak merah menyerupai cakram. Rambut rontok tak terkendali. Sariawan muncul di dalam rongga mulut. Itulah sebagian gejala lupus, penyakit otoimun kronis yang bisa menyebabkan peradangan di berbagai bagian tubuh, khususnya pada kulit, persendian, darah, dan ginjal.

Nama ilmiahnya lupus eritematosus sistemik (LES). Namun, lebih sering disebut lupus saja. Sedangkan penderitanya akrab disebut "odapus", orang dengan lupus. Menurut Robert G. Lahita, M.D., Ph.D, kepala bagian Rematologi dan Penyakit Jaringan Konektif RS St. Luke/Roosevelt, Amerika Serikat, penyakit yang tak ada hubungan saudara dengan tokoh Lupus rekaan Hilman Hariwijaya dalam novel-novelnya ini, dibedakan jadi tiga tipe: lupus yang menyerang kulit (discoid lupus), yang menyerang sistem dalam tubuh, termasuk persendian dan ginjal (systemic lupus), dan lupus akibat pemakaian obat tertentu.

Dari ketiganya, discoid lupus paling sering menyerang. Namun, systemic lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan discoid lupus, dan dapat menyerang organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meskipun begitu, pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau
jaringan lain. Sedangkan lupus akibat pemakaian obat umumnya berkaitan dengan pemakaian obat hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur). Hanya saja, cuma 4% dari orang yang mengkonsumsi obat-obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4% itu pun sedikit
sekali yang kemudian menderita lupus. Sampai sekarang, penyakit ini belum bisa disembuhkan atau dicegah. Yang bisa baru sebatas menghilangkan gejalanya. Caranya dengan mengkonsumsi obat-obatan seumur hidup, menjalani pola hidup tertentu, dan menghindari stres.

Sistem kekebalan jadi liar
Lupus sebenarnya telah dikenal lebih kurang seabad lalu. Mula-mula lupus kala itu dikira akibat gigitan anjing hutan. Dugaan itulah yang menyebabkan penyakit ini kemudian disebut lupus yang berarti anjing hutan dalam bahasa Latin. Dalam perkembangan selanjutnya, lupus menyebar ke seluruh organ di dalam tubuh. Maka muncullah sebutan LES itu.

Menurut dr. Heru Sundaru dari Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, dalam seminar Penyakit Lupus dan Wanita yang diselenggarakan Yayasan Lupus Indonesia pada Juni 1998, penyebab lupus belum diketahui dengan pasti. Selain faktor keturunan, faktor lingkungan seperti infeksi virus, cahaya matahari, dan obat-obatan, diduga ikut
berperan dalam timbulnya gejala. Robert mengungkapkan, ada 10% penderita lupus memiliki keluarga dekat yang telah atau memiliki kemungkinan menderita lupus. Statistik juga menunjukkan, ada 5% anak yang dilahirkan odapus bakal memiliki
kemungkinan menderita penyakit ini.

Meski lebih sering menyerang kaum wanita, terutama yang berusia dua puluhan tahun, "Tapi pria kemungkinan juga bisa terkena lupus," jelas dr. Heru. Hasil survai yang dikutip dokter spesialis penyakit dalam itu menunjukkan, pada usia subur perbandingan wanita dan pria penderita lupus 10 : 1. Di RSCM perbandingannya 17 : 1.
Tingkat "keganasan" lupus juga berbeda menurut ras. Survai di AS menunjukkan, di antara 2.000 penduduk kulit putih ditemukan satu penderita. Sedangkan pada penduduk berkulit hitam dan keturunan Asia, frekuensinya lebih tinggi.

Lupus diketahui sebagai penyakit otoimun, penyakit yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan, yang justru mengganggu kesehatan tubuh. Di dalam tubuh manusia selalu ada sistem kekebalan tubuh, yang terdiri atas zat anti dan sel darah putih. Sistem imun ini bertugas melindungi tubuh manusia dari serangan
antigen (musuh berupa bakteri, virus, mikroba lain). Pada lupus, oleh sebab yang belum diketahui, zat anti dan sel darah putih tadi justru menjadi liar dan menyerang tubuh yang seharusnya dilindungi. Akibatnya, organ-organ tubuh menjadi rusak dan gejala lupus pun muncul.

Perusakan jaringan tadi terjadi dengan dua cara. Zat anti langsung menyerang sel jaringan tubuh. Atau, zat itu masuk aliran darah dan bertemu antigen, lalu berkoalisi membentuk kompleks imun. Kompleks ini tetap ikut aliran darah sebelum tersangkut di pembuluh darah kapiler organ tertentu. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dieliminasi oleh sel-sel radang.

Sebaliknya, dalam keadaan tidak normal kompleks itu tidak dapat dihilangkan dengan baik dan sel-sel radang sebaliknya malah bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim yang menimbulkan peradangan. Bila peradangan berlanjut, organ tubuh akan rusak, fungsinya terganggu sehingga menimbulkan gejala penyakit. Diduga, sinar matahari maupun hormon estrogen mempermudah terjadinya reaksi otoimun.

Positif lupus, empat kriteria

Gejala penyakit ini dibedakan atas gejala umum dan gejala pada organ tertentu. Gejala umum yang sering ditemukan di antaranya, penderita sering merasa lemah, kelelahan berlebihan, demam, dan pegal-pegal. Gejala ini muncul ketika lupus sedang aktif dan menghilang ketika tidak aktif.

Organ-organ tubuh yang biasanya menunjukkan adanya lupus sangat banyak, dari kulit, ginjal, jantung, hingga otak. Pada kulit gejalanya berupa ruam merah berbentuk mirip kupu-kupu di kedua pipi. Di bagian tubuh lainnya terdapat bercak merah berbentuk cakram dan terkadang bersisik. Kerontokan rambut dan sariawan merupakan gejala
lain pada kulit. Kalau dilihat secara utuh, penderita lupus dengan gejala-gejala tadi akan tampak mirip monster.

Pada dada timbul rasa sakit yang menimbulkan gangguan pernapasan. Bila jantung atau paru-paru terserang, penderita akan merasakan jantung berdebar atau sesak napas. Bila jantung mengalami kelainan lanjutan, kaki menjadi bengkak. Pada sistem otot gejala yang dirasakan penderita adalah rasa lemah atau sakit di otot. Pada
pesendian akan dirasakan sakit, baik dengan ataupun tanpa pembengkakan dan kemerahan. Pada darah terjadi penurunan jumlah sel darah merah, putih, dan sel pengatur pembekuan darah.

Sedang pada saluran pencernaan muncul gejala sakit perut, mual, muntah, diare, atau sukar buang air besar. Pada ginjal terjadi gangguan fungsi yang mengakibatkan tidak dapat dikeluarkannya racun hasil metabolisme dan banyaknya kandungan protein dalam urine. Pada sistem saraf timbul gangguan pada otak, saraf sumsum tulang belakang
dan saraf tepi, yang mengakibatkan pusing atau kejang. Bahkan, bisa sampai menimbulkan stroke dan gangguan jiwa, meskipun ini jarang terjadi.

Menurut dr. Heru, pada 1971 untuk bisa menentukan seseorang terserang lupus setidaknya diperlukan 14 kriteria. Pada 1982 kriteria itu menjadi 11. Sekarang, diperlukan hanya empat kriteria. "Tapi bukan berarti kalau ada tiga kriteria bukan lupus. Tiga kriteria saja sudah bisa menunjukkan kemungkinan adanya penyakit lupus," tambah dr. Heru. Bahkan, bila menunjukkan gejala pada dua atau lebih organ atau sistem tadi, seseorang harus diwaspadai menderita lupus.

Gejala lupus sering menyerupai penyakit lain, sehingga penyakit ini sering dijuluki Si Peniru Ulung. "Karena itu kita harus hati-hati dalam menginterprestasikan hasil pemeriksaan," jelas dr. Heru. Bisa saja dokter menduga pasiennya terserang sifilis, batu ginjal, atau rematik, seperti yang dialami Tiara Savitri, penderita lupus yang
kini menjadi Ketua Yayasan Lupus Indonesia. Bahkan, menurut Robert, tidak akan ada dua penderita systemic lupus memiliki gejala yang sama. "Tipu daya" macam itu tidak jarang menyebabkan dokter maupun penderita frustasi akibat penyakitnya tak kunjung membaik. Untuk mendiagnosis penyakit ini dengan pasti diperlukan pemeriksaan
darah atau biopsi kulit. Keduanya untuk memeriksa antibodi-antibodi yang muncul ketika lupus sedang aktif.

Hamil boleh, tapi direncanakan

Meski masih belum bisa disembuhkan, odapus tetap bisa mendapatkan pengobatan agar bisa hidup lebih lama seperti orang sehat. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan gejala lupus yang ada. Pengobatan juga perlu didukung perubahan pola hidup, pengendalian emosi, pemakaian obat secara tepat, dan pengaturan gizi seimbang.
Menurut dr. Harry Isbagyo, SpPD, KR, dari Sub Bagian Reumatologi, Bagian Penyakit Dalam, FKUI/RSCM, dalam proses pengobatan pasien mesti dievaluasi minimal tiga bulan sekali, tergantung status kesehatannya. Tujuannya, mengevaluasi aktivitas penyakit dan menentukan pengobatan selanjutnya. "Penyakit ini berlangsung lama,
bisa bertahun-tahun. Jadi harus sabar dalam menjalani pengobatan," jelas dr. Harry.
Penderita memerlukan program pengaturan lama beraktivitas dan lama tidur. Menurut dr. Harry, bagi odapus, kecapekan dan stres berat merupakan penyebab tercetusnya gejala lupus. Karena itu, hidup teratur merupakan keharusan. "Olahraga juga boleh. Tapi jangan dipaksakan, misalnya jangan dilakukan pada siang hari saat matahari
sudah kuat," tambah dr. Heru.

Meski tidak semua odapus sensitif terhadap sinar matahari, mereka dianjurkan menghindari paparan sinar matahari secara langsung untuk waktu lama karena kekambuhan penyakit sering terjadi setelah terpapar sinar ultraviolet. Dr. Heru menganjurkan penderita keluar rumah hanya sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Ketika keluar rumah, penderita memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Dr.
Harry juga menyarankan penderita mengenakan pakaian yang tepat.

Menurut dr. Harry, penderita perlu segera mencari pertolongan medis bila timbul gejala panas tanpa diketahui penyebabnya. Bila hendak mendapat berbagai tindakan medik, macam pengobatan gigi, tindakan terhadap saluran kemih dan kandungan, atau tidakan bedah lainnya, penderita perlu berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan
antibiotika pencegahan. Bila penderita terserang pada organ utama, seperti ginjal, paru, jantung, dsb., penyakitnya sedang aktif, atau dalam pengobatan dengan obat-obatan imunsurpresif, dia sebaiknya dicegah dari kehamilan. "Penderita yang penyakitnya sedang aktif, jarang sekali bisa hamil. Kalaupun bisa hamil biasanya akan menimbulkan keguguran. Karena itu, kalau berhasil hamil sebaiknya penyakitnya selalu dikontrol," tegas dr. Harry. Namun dokter ini juga mengingatkan bahwa yang terbaik adalah kehamilan terencana. Artinya, selama penyakitnya aktif, kehamilan dihindarkan dan pengobatan dilakukan secara intensif.

Odapus dianjurkan menghindari kontrasepsi yang mengandung estrogen. Setelah penyakitnya teratasi, barulah merencanakan kehamilan.Dalam pengobatan lupus, ada dua kategori obat yang digunakan, yakni golongan kortikosteroid dan golongan selain kortikosteroid. Golongan kortikosteroid merupakan obat utama penyakit lupus. Untuk kelainan kulit diberikan dalam bentuk topikal (salep, krem, atau cairan).

Untuk lupus ringan digunakan kortikosteroid dalam bentuk tablet dosis rendah. Bila lupus sudah dalam kondisi berat, digunakan kortikosteroid dalam bentuk tablet atau suntikan dosis tinggi. "Kalau sudah menyerang otak, misalnya, dosisnya bisa sampai 1.000 mg per hari," jelas dr. Harry. Setelah kondisinya teratasi, dosis diturunkan
sampai dosis terendah yang dapat mencegah kambuhnya penyakit.

Obat golongan bukan kortikosteroid biasanya merupakan pelengkap obat kortikosteroid. Di antara obat golongan ini adalah antiinflamasi nonsteroid (OAINS) untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak sendi; obat antimalaria (kloroquin/resochin, dihidroksi kloroquin/plaquenil) untuk mengatasi gejala penyakit pada kulit, rambut, nyeri otot dan sendi, bahkan untuk odapus dengan gejala ringan; dan obat imunosupresif macam siklofostamid untuk kondisi yang disertai gangguan ginjal, azatioprin yang merupakan obat pendamping kortikosteroid agar kebutuhan kortikosteroid dapat dikurangi, dan
klorambusil.

Penggunaan obat-obat tadi mesti dengan pertimbangan matang mengingat efek sampingan yang ditimbulkan. Obat kortikosteroid, misalnya, bisa memberi efek sampingan berupa wajah membulat (moonface), penyakit cushing, osteoporosis, diabetes melitus, hipertensi, gangguan lambung, dsb. OAINS menimbulkan gangguan lambung, ginjal, darah, dsb.

Obat antimalaria memberi dampak gangguan penglihatan akibat deposit di kornea mata dan retinopati. Sedangkan imunosupresif memberi efek sampingan berupa mual atau muntah, gangguan darah, ginjal, dan mudah terkena infeksi. Meski efek sampingan tak dapat dihindarkan (yang bisa hanya mengurangi), pengobatan mesti dilakukan. "Pencegahan penyakit ini belum bisa dilakukan karena penyebab pastinya saja belum diketahui," ungkap dr. Heru. Meski begitu, kalau sudah positif terkena lupus, segala upaya mesti tetap dilakukan agar penderita bisa menikmati hidup dengan baik. "Odapus bisa bertahan lebih lama dengan penggunaan obat secara terkontrol," tegas dr. Harry. "Yang penting adalah dosisnya. Dosis dipilih seringan mungkin," tambahnya.

Kini, angka harapan hidup penderita lupus sudah termasuk sangat tinggi. Di AS dan Eropa, kalau pada tahun 1955 harapan hidup penderita lupus dalam waktu lima tahun kurang dari 50%, maka pada tahun 1991 telah mencapai 89 - 97%. Bahkan, harapan hidup 10 tahun telah mencapai 83 - 93%. Semuanya lantaran adanya cara-cara diagnosis
lebih dini dan metode pengobatan lebih baik. (Gde)

dikutip dari http://www.indomedia.com/intisari/1998/september/lupus.htm


Blogged on 2:18 PM

|

~~~

Tuesday, March 01, 2005

Penderita lupus kerap mengalami Fibromyalgia. Gejala umum yang ada biasanya adalah keletihan terus menerus, pegal-pegal, nyeri sendi dan sejenisnya.
Pasien lupus umumnya dapat mengatasi ini dengan meminum obat-obat yang bisa membuat relax otot atau rutin melakukan olah raga ringan.
Dari pengalaman pribadi, berenang, terutama di air hangat sangat membantu mengatasi sakit ini.
Untuk jelasnya mengenai gejala dan bagaimana mengatasinya, silahkan simak http://fmaware.org/fminfo/brochure.htm

What is Fibromyalgia?
Fibromyalgia (FM) is an increasingly recognized chronic pain illness which is characterized by widespread musculoskeletal aches, pain and stiffness, soft tissue tenderness, general fatigue and sleep disturbances. The most common sites of pain include the neck, back, shoulders, pelvic girdle and hands, but any body part can be involved. Fibromyalgia patients experience a range of symptoms of varying intensities that wax and wane over time.



Who is affected?
It is estimated that approximately 3-6% of the U.S. population has FM. Although a higher percentage of women are affected, it does strike men, women and children of all ages and races. Because of its debilitating nature, Fibromyalgia has a serious impact on patients' family, friends, and employers, as well as society at large.



What are the symptoms?

FM is characterized by the presence of multiple tender points and a constellation of symptoms.



Pain The pain of FM is profound, widespread and chronic. It knows no boundaries, migrating to all parts of the body and varying in intensity. FM pain has been described as deep muscular aching, throbbing, twitching, stabbing and shooting pain that defines the very existence of the Fibromyalgia patient. Neurological complaints such as numbness, tingling and burning are often present and add to the discomfort of the patient. The severity of the pain and stiffness is often worse in the morning. Aggravating factors which affect pain include cold/humid weather, non-restorative sleep, physical and mental fatigue, excessive physical activity, physical inactivity, anxiety and stress.



Fatigue In today's world many people complain of fatigue; however, the fatigue of FM is much more than being tired. It is an all-encompassing exhaustion that interferes with even the simplest daily activities. It feels like every drop of energy has been drained from the body, which at times can leave the patient with a limited ability to function both mentally and physically.



Sleep Problems Many Fibromyalgia patients have an associated sleep disorder which prevents them from getting deep, restful, restorative sleep. Medical researchers have documented specific and distinctive abnormalities in the stage 4 deep sleep of FM patients. During sleep, individuals with FM are constantly interrupted by bursts of awake-like brain activity, limiting the amount of time they spend in deep sleep.



Other symptoms Additional symptoms may include: irritable bowel and bladder, headaches and migraines, restless legs syndrome (periodic limb movement disorder), impaired memory and concentration, skin sensitivities and rashes, dry eyes and mouth, anxiety, depression, ringing in the ears, dizziness, vision problems, raynaud's syndrome, neurological symptoms and impaired coordination.



How is it diagnosed?

Currently there are no laboratory tests available for diagnosing Fibromyalgia. Doctors must rely on patient histories, self-reported symptoms, a physical examination and an accurate manual tender point examination. This exam is based on the standardized ACR criteria. Proper implementation of the exam determines the presence of multiple tender points at characteristic locations.



It is estimated that it takes an average of five years for a FM patient to get an accurate diagnosis. Many doctors are still not adequately informed or educated about FM. Laboratory tests often prove negative and many FM symptoms overlap with the symptoms of other conditions, thus leading to extensive investigative costs and frustration for both the doctor and patient. Another essential point that must be considered is that the presence of other diseases, such as rheumatoid arthritis or lupus, does not rule out a FM diagnosis. Fibromyalgia is not a diagnosis of exclusion and must be diagnosed by its own characteristic features.

To receive a diagnosis of FM, the patient must meet the following diagnostic criteria:

Widespread pain in all four quadrants of the body for a minimum duration of three months
Tenderness or pain in at least 11 of the 18 specified tender points when pressure is applied (see figure above)
What causes FM?

While the underlying cause or causes of FM still remain a mystery, new research findings continue to bring us closer to understanding the basic mechanisms of Fibromyalgia. Most researchers agree that FM is a disorder of central processing with neuroendocrine/neurotransmitter dysregulation. The FM patient experiences pain amplification due to abnormal sensory processing in the central nervous system. An increasing number of scientific studies now show multiple physiological abnormalities in the FM patient, including: increased levels of substance P in the spinal cord, low levels of blood flow to the thalamus region of the brain, HPA axis hypofunction, low levels of serotonin and tryptophan and abnormalities in cytokine function.



Recent studies show that genetic factors may predispose individuals to a genetic susceptibility to FM. For some, the onset of FM is slow; however, in a large percentage of patients the onset is triggered by an illness or injury that causes trauma to the body. These events may act to incite an undetected physiological problem already present.



Exciting new research has also begun in the areas of brain imaging and neurosurgery. Continued work will look at the hypothesis that FM is caused by an interpretative defect in the central nervous system that brings about abnormal pain perception. Medical researchers have just begun to untangle the truths about this life-altering disease.



How is FM treated?
One of the most important factors in improving the symptoms of FM is for the patient to recognize the need for lifestyle adaptation. Most people are resistant to change because it implies adjustment, discomfort and effort. However, in the case of FM, change can bring about recognizable improvement in function and quality of life. Becoming educated about FM gives the patient more potential for improvement.



An empathetic physician who is knowledgeable about the diagnosis and treatment of FM and who will listen to and work with the patient is an important component of treatment. It may be a family practitioner, an internist or a specialist (rheumatologist or neurologist, for example). Conventional medical intervention may be only part of a potential treatment program. Alternative treatments, nutrition, relaxation techniques and exercise play an important role in FM treatment as well. Each patient should, along with the healthcare practitioner, establish a multifaceted and individualized approach that works for them.



Pain Management Over-the-counter pain medications, such as acetaminophen or ibuprofen, may be helpful in relieving pain. The physician may decide to prescribe one of the newer non-narcotic pain relievers (e.g. tramadol) or low doses of antidepressants (e.g. tricyclic antidepressants, serotonin reuptake inhibitors) or benzodiazepines. Patients must remember that antidepressants are "serotonin builders" and can be prescribed at low levels to help improve sleep and relieve pain. If the patient is experiencing depression, higher levels of these or other medications may need to be prescribed. Another beneficial pain therapy, which works well on localized areas of pain, is lidocaine injections into the patient's tender points.



An important aspect of pain management is a regular program of gentle exercise and stretching, which helps maintain muscle tone and reduces pain and stiffness.



Sleep Management Improved sleep can be obtained by implementing a healthy sleep regimen, which includes going to bed and getting up at the same time every day, making sure that the sleeping environment is conducive to sleep (i.e. quiet, free from distractions, a comfortable room temperature, a supportive bed), avoiding caffeine, sugar and alcohol before bed, doing some type of light exercise during the day, avoiding eating immediately before bedtime and practicing relaxation exercises as you fall to sleep. When necessary, there are new sleep medications that can be prescribed, some of which can be especially helpful if the patient's sleep is disturbed by restless legs or periodic limb movement disorder.



Psychological Support Learning to live with a chronic illness often challenges an individual emotionally. The FM patient needs to develop a program that provides emotional support and increases communication with family and friends. Many communities throughout the United States and abroad have organized Fibromyalgia support groups. These groups often provide important information and have guest speakers who discuss subjects of particular interest to the FM patient. Counseling sessions with a trained professional may help improve communication and understanding about the illness and help to build healthier relationships within the patient's family.



Other Treatments Complementary therapies can be very beneficial. These include: physical therapy, therapeutic massage, myofascial release therapy, water therapy, light aerobics, acupressure, application of heat or cold, acupuncture, yoga, relaxation exercises, breathing techniques, aromatherapy, cognitive therapy, biofeedback, herbs, nutritional supplements, and osteopathic or chiropractic manipulation.



What is the prognosis?

Better than ever before! The efforts of individuals, support groups, organizations and medical professionals to help improve the quality of life for people with FM are starting to pay off. Better ways to diagnose and treat FM are on the horizon. The symptoms of FM can vary in severity and often wax and wane, but most patients do tend to improve over time. By actively seeking new information, talking to others who have FM, re-evaluating daily priorities, making lifestyle changes, and working hard to keep a hopeful attitude, the FM sufferer can become the FM survivor!

©2004 National Fibromyalgia Association. All rights reserved.

http://care4lupus.blogspot.com


Blogged on 2:51 AM

|

~~~