Google
Search WWW Search care4lupus.blogspot.com

Sunday, May 15, 2005

Sabtu, 16 Oktober 2004 - Republika
'Buta Mata Bukan Akhir Segalanya'


Meski tergolong tuna netra, bukan berarti orang yang mengalami low vision tidak bisa melihat sama sekali. Hal itu dialami Ketua Yayasan Syamsi Dhuha, Dian Syarif. Ia mengalami low vision sebagai dampak dari pengobatan atas penyakit lupus yang dideritanya. Saat ini kemampuan penglihatan wanita berkerudung ini tinggal lima persen. Dengan keterbatasan penglihatannya, terkadang ia masih bisa menebak benda apa yang ada di dekatnya.

Ketika low vision itu terjadi, menurut Dian, semula dirinya merasa terpukul dan shock. Pasalnya, mata yang menjadi alat utama penglihatan, tiba-tiba menghilang begitu saja. Pada awalnya, ia merasa tidak percaya diri kalau pergi ke mana-mana dan harus didampingi.

Dian mencoba untuk mengenali kehidupan sesamanya yang ada di Wyata Guna. Di sanalah, timbul keberanian dan rasa percaya dirinya untuk melakukan sesuatu, bahkan bepergian seorang diri. ''Yang membuat aku bangkit ketika mengalami krisis, aku bertemu orang yang kondisinya lebih jelek dari aku. Sehingga, aku sadar kalau sebenarnya masih beruntung memiliki lima persen penglihatan lagi,'' katanya.

Selain datang ke Wyata Guna, Dian juga sering belajar dari sebuah keluarga yang kedua orang tuanya buta sedangkan tujuh anaknya melihat semua. Namun, kata dia, si ibu tetap bisa memasak dan menyuapi anaknya. Setelah melihat ibu yang buta itu, kata dia, dirinya jadi berani memasak ke dapur. Padahal, kata dia, sebelumnya tidak ada keberanian untuk itu.''Saya belajar memasak, dengan membedakan panas untuk mengetahui sudah matang atau belum,'' tuturnya.

Menurut Dian, ayahnyalah orang yang paling berperan memberikan dukungan di saat dirinya krisis. Ia selalu ingat akan kata-kata ayahnya yang mengatakan, tidak apa-apa kehilangan indera penglihatan karena akan digantikan oleh indera lain.

Pada awalnya, lanjut Dian, dirinya tidak mengerti perkataan ayahnya itu. Namun, setelah berjalan beberapa lama, dirinya mulai sadar kalau mata hatinya bisa lebih tajam dibanding mata biasa. Ketajaman hati, kata dia, akan lebih berperan lagi kalau indera peraba (kulit) juga digunakan.

Pengalaman serupa, juga dialami Disi Tarsidi, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia, yang juga dosen jurusan pendidikan luar biasa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dia merupakan salah seorang yang dilahirkan dalam keadaan buta total. Namun, meskipun mempunyai keterbatasan dalam hal penglihatan, ia pulang pergi keluar negeri seorang diri tanpa pendamping.

Negara-negara di Asean, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, sudah beberapa kali dikunjunginya. Selain itu, negara Eropa seperti Kanada, Denmark, Norwegia, dan Italia sudah juga dia sambangi. Bahkan, di Norwegia, ia pernah tinggal selama tiga bulan.

Didi mengaku pernah mengalami berbagai pengalaman penerbangan. Dari mulai penerbangan internasional yang sangat baik pelayanannya, sampai beberapa penerbangan domestik yang memperlakukan tunanetra dengan diskriminatif. Bahkan, menurut dia, temannya sesama tunanetra pernah menuntut salah satu maskapai penerbangan sebesar Rp 200 juta, karena pada saat akan ke Makassar, temannya tidak boleh naik ke pesawat karena tunanetra dan tidak membawa pendamping.

''Pada penerbangan dalam negeri, kami tunanetra selalu mengalami kesulitan ketika akan naik pesawat seorang diri. Bahkan, oleh Pelita Air, saya harus menandatangani surat tidak akan menuntut kalau terjadi sesuatu, kenapa saya saja yang harus menandatangani, itu namanya diskriminatif,'' kata Didi.

Menurut Didi, pada awal perjalanannnya ke luar negeri, dirinya memang sempat stres ketika masih berada di dalam pesawat. Namun, kata dia, dirinya tidak memiliki pilihan lain, sehingga mau tidak mau harus dilakukannya. Pasalnya, kata dia, tiket yang diberikan untuk tugas hanya untuk satu orang, sehingga tidak bisa menggunakan pendamping.

Semua tempat yang belum pernah dikunjunginya, sambung Didi, pasti akan asing meskipun berada di dalam negeri. Apalagi, kata dia, kalau tempat tersebut berada di luar negeri dan tidak ada pendampingnya. Oleh karena itu, sebelum pergi dirinya mencari tahu terlebih dahulu semua tempat yang akan didatanginya itu.
(kie)


Blogged on 8:13 PM

|

~~~

Minggu, 07 Juli 2002 - Republika
Gatal-gatal Karena Obat Lupus


Dokter Zubairi Yth,
Saya adalah seorang karyawati berumur 25 tahun. Setahun yang lalu, saya didiagnosis menderita penyakit lupus. Saat ini saya mendapat pengobatan prednison yang harus diminum sebanyak tujuh tablet setiap pagi.
Tapi, sekitar dua minggu yang lalu saya mengalami gatal-gatal yang sangat hebat di lipat paha, juga di bawah payudara saya.

Setelah ke dokter, saya diberi salep kulit dan keluhan gatal tersebut kini sudah semakin membaik. Kata dokter, gatal-gatal yang saya alami berhubungan dengan pengobatan yang saya jalani. Hal ini membuat saya khawatir. Apakah itu berarti suatu saat saya akan mengalami gatal-gatal itu lagi? Adakah cara untuk mencegahnya?Demikian pertanyaan saya. Atas jawaban dokter, saya ucapkan terima kasih.

Katrin, Jakarta

Mbak Katrin yang baik,
Salah satu pengobatan lupus yang terpenting memang adalah pemberian obat golongan kortikosteroid seperti prednison. Mungkin sudah Anda ketahui bahwa pada penyakit lupus sel-sel dan jaringan tubuh dapat dirusak oleh antibodi atau kompleks imun dari tubuh sendiri. Oleh karena itu untuk menekan proses tersebut, diperlukan pemberian obat kortikosteroid. Hanya saja, obat kortikosteroid ini jika diminum dalam dosis yang besar dan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kekebalan tubuh menurun. Salah satu akibat dari kekebalan tubuh yang menurun ini adalah Anda menjadi mudah terkena infeksi jamur di kulit.

Jamur mudah tumbuh di daerah lipatan-lipatan tubuh karena daerah ini cenderung lebih lembab. Pengobatan prednison saat ini tidak dapat dihentikan hanya karena gatal yang Anda alami. Dosis prednison kemudian akan dikurangi secara bertahap dengan melihat kondisi Anda. Memang gatal itu sangat menyiksa tetapi tentu yang lebih penting adalah menghindari kerusakan jaringan akibat penyakit lupus yang Anda derita.

Untuk itu diperlukan upaya pencegahan. Kebersihan di daerah lipatan-lipatan tubuh harus dijaga, usahakan agar daerah tersebut selalu kering. Sebaiknya Anda memakai pakaian dalam yang terbuat dari bahan yang menyerap keringat seperti katun. Selain itu, pakaian dalam pun harus lebih sering diganti karena di Jakarta hawanya sangat panas sehingga mudah
berkeringat. Usahakan pula untuk sekali-sekali minum obat antijamur. Tablet/kapsul antijamur yang ada di Indonesia sekarang ini seperti ketokonazol, flukonazol, atau itrakonazol terbukti efektif untuk menghilangkan jamur, apalagi bila dikombinasikan dengan salep atau krim
antijamur.

Sekali lagi jangan menghentikan minum prednison karena komplikasi jamur. Penghentian prednison secara mendadak dapat menyebabkan penyakit lupus aktif kembali dengan akibat dapat mengganggu fungsi ginjal, hati atau menyerang sel tubuh yang lain. Bila Mbak Katrin ingin mengetahui lebih jelas mengenai penyakit lupus ini, dapat menghadiri seminar yang
diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Lupus Indonesia dan Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia pada tanggal 20 Juli 2002. Untuk keterangan lebih lanjut bisa menghubungi telpon: 021-47868336.
(Zubairi Djoerban)


Blogged on 8:11 PM

|

~~~

Minggu, 28 Juli 2002 - Republika
Lupus - Si Misterius yang Perlu Diwaspadai


Penyakit dengan seratus wajah. Julukan ini rasanya pas benar untuk penyakit lupus. Gejalanya yang tidak khas serta penampilannya yang dapat menyerupai penyakit-penyakit lain bisa membuat orang terkecoh. Bukan cuma orang awam, tapi juga dokter.

Banyak hal yang biasa dikeluhkan penderita lupus. Di antaranya demam namun bukan karena infeksi, penurunan berat badan, cepat lelah, nafsu makan menurun, rambut rontok, pegal linu di seluruh badan, radang sendi, gangguan darah, gangguan syaraf, tukak mulut, dan peka terhadap sinar matahari sampai timbul bercak kupu-kupu di muka. Tentu saja, keluhan antara penderita yang satu dengan lainnya berbeda-beda. ''Tapi sebagai patokan, apabila seseorang mengalami empat gejala itu saja, maka mereka sudah bisa dikatakan positif terjangkit lupus,'' kata dokter Yoga Iwanoff Kasjmir SpPD KR, penasehat medis Yayasan Lupus Indonesia (YLI).

Dijelaskan, lupus dikelompokkan dalam penyakit auto-imun. Apa maksudnya? Secara sederhana bisa diterangkan, bahwa pada penderita lupus tubuh membuat antibodi dalam jumlah banyak yang sifatnya bukan untuk melindungi tubuh, namun justru menyerang tubuh sendiri. Sifat merusak diri sendiri inilah yang membuat lupus disebut penyakit auto-imun.

Secara garis besar ada tiga jenis lupus, yaitu LES (lupus eritematosus sistemik), lupus diskoid, dan lupus obat. Sesuai namanya, lupus obat adalah lupus yang timbul akibat efek samping obat. Lupus jenis ini biasanya akan sembuh sendiri dengan memberhentikan obat yang menimbulkan efek samping itu. Lupus diskoid adalah lupus kulit dengan manifestasi beberapa jenis kelainan kulit. Berbeda dengan lupus diskoid yang menyerang bagian luar tubuh (kulit), maka LES menyerang dan menimbulkan komplikasi pada organ-organ dalam tubuh seperti ginjal, paru-paru, otak, jantung, sendi, dan lain-lain.

Siapa saja yang bisa terserang penyakit ini? Menurut Yoga, setiap orang dapat terserang lupus. ''Namun kebanyakan adalah para wanita yang berada dalam usia produktif.''

Mengenai penyebab lupus, Yoga mengakui, sejauh ini memang belum diketahui. Hanya saja ada sejumlah faktor risiko yang berpotensi menimbulkan lupus yaitu faktor genetik dan lingkungan. ''Selain itu, bisa pula dipengaruhi oleh faktor hormonal, walau memang yang paling dominan adalah faktor genetik.''

Faktor genetik di sini artinya, jika seorang ibu menderita lupus maka anaknya atau anggota keluarga lainnya punya kecenderungan terjangkit penyakit serupa. ''Jadi tidak ada virus menular seperti halnya AIDS, yang kalau si anak lahir maka secara otomatis akan terkena juga penyakit tersebut.''
Sedangkan faktor lingkungan bisa berupa paparan sinar ultraviolet, infeksi, stres, dan obat-obatan. Tapi menurut Yoga, faktor lingkungan bukanlah faktor dominan karena masih bisa disiasati. ''Misalnya, kita dapat menyiasati paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan tabir surya (sun block).''

Sementara dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM, spesialis penyakit dalam dari FKUI/RSCM yang juga dikenal sebagai pemerhati lupus berpendapat, deteksi terhadap lupus sebenarnya mudah jika saja para dokter sudah memiliki kemampuan dasar untuk mendiagnosis penyakit ini. Sayangnya, hingga sekarang masih sedikit dokter yang memiliki kemampuan dalam mendiagnosis penyakit lupus. Akibatnya, semakin banyak anggota masyarakat yang terkena penyakit ini namun tidak mendapatkan penanganan yang semestinya. ''Pasien yang terdafar di Jakarta saja sudah mencapai sekitar 400 orang, belum lagi yang di luar Jakarta.''

Zubairi yang di ruang praktiknya cukup sering menangani pasien lupus mengatakan, pengobatan utama terhadap lupus adalah dengan memberikan kortikosteroid. Untuk penderita yang memerlukan pengobatan dalam dosis tinggi, perlu dipikirkan untuk memberi tambahan obat lain seperti imuran, endoxan, dan methotrexate. Ini dimaksudkan agar efek kortikosteroid tidak terlalu berat.

Dengan pengobatan yang tepat dan terawasi, lupus kini tak lagi menjadi penyakit yang merenggut banyak nyawa penderitanya. ''Dulu sebelum kemampuan diagnosis dan pengobatan mengalami kemajuan seperti sekarang, angka kematian di antara penderita lupus mencapai 10 persen.''
Tapi kini, angka kematian sudah dapat ditekan hingga di bawah 10 persen.

Bahkan sebagian penderita, dapat sembuh total. Sementara itu sebagian lagi tak sembuh secara total, namun kondisi penyakit terkontrol, seperti halnya pada penderita kencing manis atau tekanan darah tinggi. ''Para odapus (orang dengan lupus) pun tak perlu khawatir sebab lupus tak membuatnya terhambat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Bahkan tak sedikit dari mereka yang tetap eksis dengan kariernya walau didera penyakit Lupus,'' kata Zubairi.

Bagaimana dengan hamil dan punya anak? Tentang hal ini pun, para odapus yang kebanyakan kaum wanita tak perlu khawatir. Mereka tetap bisa hamil dan punya anak. ''Pasien lupus yang tercatat di Yayasan Lupus Indonesia (YLI) hingga saat ini berjumlah sekitar 500 orang dan kebanyakan wanita. Hanya 20 orang saja yang belum dikaruniai anak, sisanya telah mendapatkan momongan.'


Blogged on 8:09 PM

|

~~~

Minggu, 21 Juli 2002 - Republika
Sakit Lupus, Harus Cuci Darah?

Dokter Zubairi Yth,
Anak saya, gadis berusia 19 tahun, sejak dua bulan yang lalu menstruasi banyak sekali dan lama. Biasanya lima hari, kali ini dua minggu belum bersih. Sudah berobat ke dokter kandungan, diperiksa ultrasonografi dikatakan tidak ada kelainan di kandungan. Pemeriksaan darah menunjukkan trombositnya rendah sekali, hanya 42 ribu (normal lebih dari 150 ribu per mm3). Dirujuk ke dokter penyakit dalam dinyatakan sakit lupus. Dok, apakah benar anak saya sakit lupus? Saya lampirkan data pemeriksaan darahnya.
Sepengetahuan saya, penyakit lupus tidak begitu. Katanya sih, biasanya sakit sendi, mukanya merah dan badannya bengkak. Apakah bisa ditolong? Apakah anak saya harus cuci darah? Apakah bisa hamil?
Terima kasih atas penjelasan dokter.

Susi, Yogyakarta

Bu Susi yang baik,
Penyakit lupus memang masalah yang serius. Jumlah pasiennya ternyata lumayan banyak. Pasien lupus yang terdaftar di Yayasan Lupus Indonesia (YLI) ada empat ratusan. Itu pun sebagian besar berada di Jakarta, dan masih lebih banyak yang belum bergabung.
Apakah anak Bu Susi sakit lupus? Dari data yang dikirimkan, memang demikian. Untuk diketahui, gejala pasien lupus seringkali berbeda dari satu pasien ke pasien yang lain. Pada pasien lupus seperti anak Bu Susi, di mana antibodi yang ada terutama ditujukan terhadap trombosit, maka gejala yang mencolok ya jumlah trombosit yang rendah dengan konsekuensinya berupa perdarahan menstruasi yang berlebihan.

Untuk diketahui, pada pasien penyakit lupus terdapat antibodi yang berlebihan, dan antibodinya salah sasaran, artinya tidak merusak bakteri, virus ataupun benda asing yang masuk tubuh sesuai dengan tugas antibodi yang normal, tapi justru merusak sel atau pun organ tubuh. Bila antibodinya ditujukan terhadap ginjal, maka yang dirusak ya ginjal. Sebaliknya bila antibodinya ditujukan terhadap eritrosit, maka yang dirusak sel darah merahnya, yang berakibat anemia.
Adapula yang antibodinya ditujukan terhadap liver atau terhadap leukosit atau pun kulit. Jadi bisa dimaklumi bila gejalanya bisa berbeda beda, tergantung pada sasaran antibodi.

Apakah perlu cuci darah? Tidak, karena kadar ureum dan kreatinin serta klirens kreatinin (CCT) anak Bu Susi normal, artinya fungsi ginjal normal. Jadi sama sekali tidak memerlukan cuci darah (hemodialisis). Cuci darah hanya diperlukan pada pasien lupus nefritis lanjut yang disertai komplikasi gagal ginjal. Seringkali pasien lupus dengan komplikasi ginjal masih dapat membaik dengan pengobatan yang tepat.

Apakah bisa hamil? Ya, anak Bu Susi bisa hamil setelah menikah di kemudian hari. Jadi janganlah khawatir berlebihan. Sebagian besar pasien lupus adalah wanita dalam masa reproduksi dan data dari pasien lupus yang bergabung dengan YLI menunjukkan, sebagian besar sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Yang belum dikaruniai anak hanya sedikit sekali, kurang dari 10 persen.

Mengenai perdarahan menstruasi yang berlebihan, akan segera pulih normal setelah mendapat pengobatan untuk lupusnya, biasanya dengan obat kortikosteroid, prednison misalnya. Sebagian pasien trombositnya akan kembali normal, sebagian lagi tidak. Untuk yang trombositnya masih rendah alias tidak kembali normal pun perdarahan menstruasi yang berlebihan akan segera berhenti, karena fungsi trombosit akan pulih walau pun jumlahnya belum mencapai normal. Jadi, teruskan pengobatan ke dokter penyakit dalam dan bila perlu ke dokter kandungan. Bu Susi perlu menasehati anaknya agar tidak menghentikan sendiri obat-obat yang diberikan.
Bila berminat mendapatkan informasi lebih jauh dan bergabung dengan teman-teman odapus (orang dengan lupus) di Yayasan Lupus Indonesia, silakan menghubungi telpon nomor (021)47868336 atau 0812.9016959 atau 0812.8484062. Salam


Blogged on 8:07 PM

|

~~~

Minggu, 28 Juli 2002 - Republika
Aku Lahirkan Bayiku Bersama Lupus

Lupus memang tak populer. Jangankan masyarakat awam, para dokter pun kerap terkecoh. Gejalanya yang tidak spesifik membuat Lupus kerap dikira penyakit lain. Akibatnya ketika Lupus terdeteksi, perjalanan penyakit sudah demikian jauh. Inilah yang dialami Tiara Savitri, salah seorang odapus (orang dengan lupus) yang kini dipercaya menjadi ketua Yayasan Lupus Indonesia.

Wanita kelahiran Beograd pada 5 Agustus 1968 ini mulai jatuh sakit pada tahun 1987 dengan gejala panas tinggi. Ia pun dilarikan ke rumah sakit dan menjalani rawat inap. Namun dokter belum berhasil mendeteksi penyakitnya. Titik terang mulai muncul pada Mei 1988. ''Waktu itu saya dipindah ke RSCM karena ada informasi bahwa rumah sakit ini memiliki dokter super spesialis penyakit ini. Saat itulah, saya mulai diduga menderita lupus,'' kisah wanita yang meraih gelar sarjana pendidikan dari IKIP Jakarta ini.

Sebulan kemudian (Juni 1988), ia diperbolehkan pulang dan berobat jalan. Diagnosis penyakit sudah dipastikan yaitu lupus. Ia pun mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi. Walau sudah menjalani pengobatan, tak urung kekambuhan sering terjadi. Dan itu memaksanya untuk kembali menjalani rawat inap di rumah sakit. Bahkan pada tahun 1992, terjadi kekambuhan yang memerlukan pengobatan dengan kemoterapi.

Namun Tiara bukan orang yang gampang putus asa. Di tengah deraan penyakit ini, ia tetap berkeras menuntut ilmu. Ia bahkan sempat kuliah di dua perguruan tinggi sekaligus yaitu Fakulas Sastra Jepang Universitas Nasional (Unas) dan IKIP Jakarta. Tiara masih ingat, betapa ia terpaksa mengerjakan soal-soal UMPTN (pada Mei 1989) dari rumah sakit. Tapi akhirnya ia mesti bersikap realistis. ''Karena kondisi fisik yang tak memungkinkan, saya memutuskan untuk meninggalkan UNAS, dan hanya kuliah di IKIP,'' kata Tiara yang semasa SMA dikenal sebagai gadis yang sangat aktif ini.

Pada Desember 1994, mantan mayoret drum band Lab School ini menikah dengan pria pujaan hatinya, Julio Hardison St Kayo. Seperti halnya wanita yang telah menikah, ia pun ingin memiliki anak. Tiara tahu, lupus bukan halangan baginya untuk mengandung dan punya anak. Benar saja, sebulan setelah menikah, ia positif hamil. ''Tapi karena kondisi lupus yang tak memungkinkan, janin akhirnya dikeluarkan saat berusia 2,5 bulan.'' Tak cukup hanya sekali, Tiara kembali menemui kenyataan pahit pada kehamilan kedua dan ketiga. Pada kehamilan kedua, janin dikeluarkan pada usia 5,5 bulan karena terjadi hambatan pertumbuhan bayi.

Sementara pada kehamilan ketiga, lagi-lagi janin harus dikeluarkan karena masih menjalani pengobatan dengan kemoterapi. Jera kah Tiara untuk hamil lagi? Ternyata tidak. Keinginannya untuk mempunyai anak terus menyala. Berkat rahmat Tuhan, pada Mei 1998 kembali ia mengandung. Berbeda dengan tiga kehamilan sebelumnya, kehamilan yang terakhir ini nyaris tidak ada gangguan. Merasa pusing dan mual pun tidak. Kata Tiara, kehamilan ini terjadi ketika dia mengalami remisi sehingga tidak mengonsumsi obat sama sekali.

Walau begitu, riwayat penyakit lupus yang dideritanya tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan janinnya. Saat kandungan berusia delapan bulan misalnya, diketahui (lewat pemeriksaan USG) berat janinnya hanya 1,6 kg. Padahal normalnya, berat janin di usia itu telah mencapai 2,5 kg. Kala itu, dokter menyarankannya untuk banyak mengonsumsi makanan yang manis-manis dengan tujuan untuk meningkatkan berat janin. Namun usaha itu tak membawa hasil. Buktinya, tiga minggu kemudian, berat janin hanya bertambah sedikit menjadi 2 kg.

Menurut dokter, pertumbuhan janin yang lambat ini disebabkan oleh tidak lancarnya asupan makanan dari tubuh ibu ke janin. Selanjutnya, dokter menyarankan Tiara untuk melahirkan lewat operasi caesar. Ini untuk menghindari keracunan pada bayi akibat kekurangan oksigen. Dan saat-saat yang mendebarkan itu akhirnya datang. ''Alhamdulillah, pada Februari 1999 saya melahirkan dengan selamat, walaupun ada sedikit gangguan di mana saya mengalami kebocoran ginjal yang mengharuskan saya disuplai albumin (human protein).'' Walau terlahir hanya dengan berat 2 kg, bayi yang kemudian diberi nama Kemal Syakurnanda Hardison itu tampak sehat.

Tangisnya kencang. ''Oleh dokter, bayi saya dianggap cukup kuat dan sehat, sehingga hanya masuk inkubator dua hari.'' Alhasil, Tiara pun tak perlu berlama-lama menginap di rumah sakit bersalin. Pada hari kelima, ia dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. ''Saya sendiri heran waktu itu, karena biasanya bayi harus mencapai berat yang standar terlebih dahulu sebelum diizinkan pulang. Tapi dokter bilang, anak saya sehat sehingga boleh pulang.'' Yang lebih membahagiakan, Tiara ternyata juga bisa menjalani proses menyusui dengan normal. Bahkan air susunya bisa dibilang cukup melimpah.

Tak heran, anaknya tumbuh pesat dan tak mengalami hal-hal aneh berkait dengan lupus yang diderita sang ibu. Ini pun terjadi pada anak dari teman-teman Tiara sesama odapus. ''Anak-anak mereka juga berkembang normal dan tak mengalami keluhan apapun,'' terang mantan anggota tim basket POPSI DKI Jakarta 1986-1987 ini. Namun di tengah kebahagiaan menimang anak pertamanya, badai kembali menerjang. Suami tercinta meninggal dunia pada Januari 2001. Kepergian suaminya yang begitu cepat, sempat membuatnya limbung. Tapi perlahan-lahan ia mampu mengumpulkan kembali semangat dan ketegarannya. Apalagi, ia telah memiliki Kemal, buah hatinya yang kini berusia 3,5 tahun.


Blogged on 8:05 PM

|

~~~

Minggu, 22 September 2002 - Konsultasi - Republika
Lupus dan Herpes Zoster

Dokter Zubairi Djoerban yth, Saya wanita berusia 35 tahun. Perlu dokter ketahui, saya adalah penderita lupus. Untuk mengontrol lupus yang saya derita, selama ini saya minum prednison dan imuran.

Belum lama ini, saya merasa sangat tidak enak badan. Tak berapa lama setelah itu, muncul bintil-bintil warna merah yang sangat gatal. Anehnya, bintil-bintil itu cuma ada di satu sisi tubuh saja. Saya kemudian memeriksakan diri ke dokter. Menurut dokter, saya terkena infeksi herpes zoster.

Yang ingin saya tanyakan adalah, benarkah penyakit lupus yang saya derita membuat saya rentan terkena infeksi? Jika ya, bagaimana cara untuk menghindari infeksi itu? Dan yang terakhir, apakah suatu saat nanti saya bisa terserang herpes zoster lagi?

Terima kasih atas jawaban dokter.

Rinta, Bekasi

Ibu Rinta yang baik, Orang yang menderita lupus memang rentan terhadap infeksi. Penyakit lupus sendiri memang menyebabkan kemampuan tubuh untuk membentuk zat anti terhadap penyakit menurun. Keadaan ini semakin diperburuk akibat efek samping obat-obatan yang diminum. Ibu mendapat prednison yang merupakan obat golongaan kortikosteroid yang dapat menekan sistem kekebalan tubuh Ibu. Imuran merupakan obat sitotoksik yang dapat berpengaruh pula pada sistem kekebalan tubuh. Tapi bagaimanapun juga, mengontrol penyakit lupus itu lebih penting daripada menghindari infeksi. Karena itu yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara meminimalkan terjadinya infeksi, atau jika infeksi sudah terjadi maka perlu dilakukan penanganan yang tepat.

Herpes zoster seperti yang Ibu alami sebenarnya bukan merupakan penyakit infeksi yang sering diderita oleh pasien lupus. Herpes zoster disebabkan oleh virus, yaitu virus cacar air yang aktif kembali setelah selama beberapa lama 'tidur' dalam tubuh. Selain gejala pada kulit seperti yang Ibu alami, biasanya juga timbul nyeri karena virus menjalar melalui syaraf kemudian mencapai kulit. Karena itu biasanya kelainan kulitnya didapatkan berkelompok pada satu sisi tubuh saja seperti yang Ibu alami, hal ini sesuai dengan daerah persyarafan yang terinfeksi virus.

Mengobati herpes zoster pada penderita lupus, sama saja dengan mengobati herpes zoster pada umumnya. Biasanya dokter memberikan obat antiviral yang berguna untuk menekan proses replikasi virus sehingga masa timbulnya gejala akan lebih pendek. Selain itu karena disertai nyeri maka dokter mungkin memberikan pula obat antinyeri. Rasa nyeri dapat tetap dirasakan selama beberapa lama setelah gejala pada kulit menghilang. Yang perlu diperhatikan pula adalah mencegah terjadinya infeksi kulit akibat kulit yang terluka. Caranya adalah jangan mengutak-utik lesi kulit. Pemberian kompres akan membantu agar luka cepat mengering. Jika telah kering obat kompres harus dihentikan. Obat-obatan untuk lupus tetap dikonsumsi seperti biasa.

Perlu diketahui pula bahwa umumnya herpes zoster akan dapat kambuh kembali, apalagi dengan keadaan Ibu yang sistem kekebalan tubuhnya menurun. Sampai saat ini belum ditemukan cara yang ampuh untuk mencegah kekambuhan herpes zoster. Demikian jawaban dari saya, mudah-mudahan ada manfaatnya buat Bu Rinta. Salam.


Blogged on 8:02 PM

|

~~~

Minggu, 03 Nopember 2002 - Republika
Merasa Tertekan Karena Lupus

Dokter Zubairi yth, Anak perempuan saya (19 tahun) sejak sembilan bulan yang lalu diketahui sakit lupus. Gejalanya bermula dari panas selama dua minggu kemudian dirawat di rumah sakit karena diduga sakit typhus atau TBC paru. Namun setelah pemeriksaan darah dan urine, dokter akhirnya menemukan penyakit lupus sebagai penyebab panas. Setelah minum prednison, kondisinya cepat sekali membaik dan sudah dapat kuliah lagi. Untuk dokter ketahui, anak saya kuliah di fakultas psikologi sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Yang menjadi keprihatinan saya adalah kondisi kejiwaan anak saya yang tampaknya amat tertekan. Kelihatannya, ia menjadi sulit berinteraksi dengan teman kuliah ataupun teman-temannya semasa SMU. Padahal tadinya ia bisa dikatakan 'anak gaul' karena mudah bergaul dengan siapa saja.

Selain itu anak saya juga telah mempunyai teman dekat dan sepertinya dia kini juga banyak menahan diri terhadap pacarnya. Mungkin dia malu dengan penyakitnya. Untuk dokter ketahui, di dekat rumah kami ada tetangga dengan penyakit lupus yang telah meninggal setahun yang lalu karena kerusakan ginjal.

Dok, yang saya selalu khawatirkan adalah penampilannya yang agak berubah seperti pipi yang menjadi tembem, sering mengeluh cepat capai, dan badan kelihatan menjadi gemuk. Dok, apa yang harus saya lakukan?

Endah, Bekasi Barat

Ibu Endah yang sedang prihatin,
Memang tidak mudah untuk seorang gadis seperti anak Ibu terkena penyakit lupus. Pertama karena penyakit lupus merupakan penyakit menahun yang sering kali gejalanya hilang timbul dengan kekambuhan-kekambuhan, disertai dampak kejiwaan dan memerlukan pengobatan teratur jangka panjang, sering kali bertahun-tahun. Yang perlu diyakini oleh Bu Endah dan putrinya adalah bahwa sebagian besar odapus (orang dengan lupus) dapat diobati dan kondisi kesehatannya bisa terkontrol baik dengan obat-obatan.

Masalah fisik yang dihadapi odapus misalnya panas lama, rambut rontok, muka sembab, cepat merasa lelah apalagi bila ada kerusakan organ tubuh akibat lupus seperti kerusakan ginjal, paru maupun pada kulit. Saya dapat membayangkan putri Bu Endah yang semula begitu percaya diri menjadi tidak percaya diri karena muka yang sembab, kulit yang menjadi bermasalah, sering ke dokter, belum lagi kadang harus dirawat di rumah sakit. Untuk diketahui, pengobatan penyakit lupus dapat menyebabkan efek samping seperti muka yang sembab dan jerawatan. Namun efek samping tersebut jauh lebih ringan dari manfaat minum obat. Lagipula dosis prednison ataupun obat serupa yang diresepkan dokter, secara bertahap akan dikurangi, sehingga efek sampingnya pun akan semakin berkurang di kemudian hari.

Tentu tetangga Bu Endah yang menderita lupus dan meninggal setahun lalu menambah beban pikiran. Jadi untuk anak Ibu, sakit lupus dapat menimbulkan tekanan tersendiri sehingga menyebabkan masalah kejiwaan. Menurut saya memang ada kemungkinan putri Ibu sedang mengalami masalah psiko sosial akibat penyakit lupus tersebut. Ada beberapa tips untuk mengatasi masalah kejiwaan pada pasien lupus yang mungkin dapat diterapkan pada putri Ibu.

Pertama, Ibu sebagai keluarga terdekat dan saudara-saudara kandung lainnya di rumah sebaiknya meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhan yang dirasakan oleh putriIibu tersebut, walaupun keluhan tersebut kedengarannya sepele. Dukungan emosi dan psikososial dari keluarga dan teman terdekat akan sangat membantu odapus.

Dokter maupun perawat juga dapat meringankan perasaan pasien dengan menunjukkan empatinya khususnya sewaktu masa-masa sulit pasien atau sewaktu dirawat di rumah sakit. Juga diharapkan dokter dan petugas kesehatan tersebut mengobati dan merawat odapus secara holistik, tidak hanya mengobati penyakitnya saja. Hubungan pasien, dokter dan keluarga yang baik akan membuat odapus bisa berbicara dengan bebas yang akan banyak mengurangi masalah kejiwaannya.

Banyak pasien lupus yang merasa kehilangan kontrol terhadap dirinya, karena merasa secara mendadak memasuki fase kehidupan yang sangat tidak nyaman akibat lupus. Seperti kita ketahui, penyakit lupus ditandai dengan kekambuhan yang hilang timbul. Rasa yang tidak berdaya karena rasa kambuh yang hilang timbul tersebut kadang-kadang menyebabkan odapus menghadapi pilihan yang tidak enak.

Pilihan pertama adalah pasien menerima penyakit ini sebagai bagian dari dirinya. Kekurangan dari pilihan ini menyebabkan pasien mengasihani diri, dengan sikap negatifistik dan seolah-olah tidak mempunyai masa depan.

Pilihan lain (lebih sukar dilaksanakan) adalah odapus menciptakan identitas baru dengan menyesuaikan gaya hidup, harapan-harapan, dan tujuan hidupnya menjadi lebih realistis. Pilihan kedua ini membuat pasien merasa lebih percaya diri, berperilaku positif, dan mempunyai harapan. Namun untuk mencapai pilihan yang kedua diperlukan dukungan dari lingkungan tersebut diatas, baik tim dokter, keluarga, maupun sahabat-sahabatnya.

Kebetulah di Jakarta ada Yayasan Lupus Indonesia dengan lebih kurang 500 odapus terdaftar sebagai anggotanya. Komunikasi yang baik antar anggota yayasan lupus tersebut akan meringankan penderitaan odapus. Lagipula sesama odapus biasanya lebih mudah untuk saling empati. Ada baiknya putri Ibu mendaftarkan diri menjadi anggota Yayasan Lupus Indonesia tersebut.

Jadi dapat disimpulkan bahwa anak Ibu seperti juga odapus yang lain sebetulnya dapat mempunyai cara hidup yang normal dan positif walaupun terkena lupus. Saya yakin, putri Bu Endah bisa kuliah dengan normal. Di kemudian hari pun, saya yakin ia bisa bekerja normal. Selamat bergabung dengan Yayasan Lupus Indonesia. Salam.


Blogged on 7:59 PM

|

~~~

Tuesday, May 10, 2005

Kompas - 21 Juli 2002


DAYA tahan hidup lima tahun bagi penderita lupus (LES = lupus Eritematosus Sistemik) di Indonesia saat ini mencapai 100 persen dan 85,5 persen di antaranya bisa mencapai remisi bebas terapi dalam jangka lebih dari 10 tahun.

Menurut John Darmawan MD PhD FACR, penasihat ahli WHO untuk penyakit rematik, lebih dari setengah abad lalu lupus masih merupakan penyakit fatal. Pada tahun 1950-an daya tahan hidup lima tahun pada penderita lupus masih 50 persen di negara barat dan hanya 13 persen di negara berkembang.

Menurut laporan Prof Handono Kalim dan Kusworini Kalim dari Malang, daya tahun hidup lima tahun mencapai 68 persen tahun 1996. Sedang Drenkard dan kawan-kawan (Baltimore, Amerika Serikat) tahun 1996 melaporkan 23,4 persen dari 667 penderita lupus termasuk penderita dengan komplikasi berat mencapai remisi bebas terapi.

John Darmawan dalam laporannya (Majalah Kedokteran Indonesia volume 49, No 5, Mei 1999) menyatakan, dari 62 penderita sebanyak 85,5 persen mencapai remisi bebas terapi dan daya tahan hidup lima tahun mencapai 100 persen.

Laporan ini berdasarkan pengamatan pada 62 penderita lupus yang ia tangani. Mereka berasal dari pelbagi kota di Indonesia dan 21 orang di antaranya berasal dari rujukan luar negeri dengan komplikasi berat dan perjalanan penyakit dua sampai lima tahun.

Peningkatan daya tahan hidup lima tahun dan remisi bebas terapi dalam jangka waktu 10 tahun ini tentu saja membawa harapan baru bagi penderita dan keluarganya. Keberhasilan ini juga dilaporkan John Darmawan dalam majalah ilmiah luar negeri, yakni APLAR Journal of Rheumatology (vol 3 No 2. September 1999) dan majalah JAMMA SEA (edisi March/ April 2000) di samping dalam Majalah Kedokteran Indonesia (vol 49, No 5, Mei 1999).

John Darmawan mengatakan, peningkatan daya tahan hidup diperoleh dengan metode pemberian obat yang tepat-guna, tepat-dosis dan tepat-cara. Ini mempercepat dicapainya remisi dalam terapi dengan perawatan dan kemudian menuju remisi bebas terapi. "Tersedianya antibiotika dan pemberantasan infeksi dini belakangan ini sangat menentukan dalam pencegahan kematian," tambah dia.

Terapi milenium lupus

John Darmawan menjelaskan, terapi milenium lupus terdiri atas kombinasi imunosupresan dalam dosis kecil yang diberikan secara infus intravena berupa campuran metilprednisolon, siklofosfamid, metotreksat, dan per oral siklosporin dengan mikofenolat mofetil.

Setelah remisi dalam terapi pemeliharaan tercapai, infus intravena diberhentikan secara bertahap dan diganti per oral metotreksat dengan siklosporin dan mikofenolat mofetil, sampai akhirnya mencapai remisi bebas terapi.

"Variasi kombinasi imunosupresan dalam dosis, cara pemberian dan frekuensinya banyak sekali untuk mencapai hasil yang maksimum," ujar John Darmawan.

Kombinasi hidroksikhlorokwin dan prednison merupakan obat pilihan pertama pada LES tanpa komplikasi. Kombinasi ini cukup murah, dapat diberikan oleh dokter umum, dan aman digunakan selama hamil.

LES dengan komplikasi merupakan keadaan gawat dan segera memerlukan terapi kombinasi dengan imunosupresan. Terapi dengan satu jenis imunosupresan dalam dosis tinggi tidak memadai dan banyak mengundang efek samping, seperti muka bengkak, terhentinya pertumbuhan tinggi badan (pada penderita anak) dan sebagainya.

Pada umumnya LES tanpa komplikasi dapat mencapai remisi bebas terapi setelah dua sampai empat tahun berobat tergantung waktu kediniannya berobat. Makin dini pengobatan LES makin cepat mencapai remisi dalam terapi pemeliharaan dan kemudian menuju ke remisi bebas terapi.

Hasil akhir terapi sangat tergantung kegiatan aktivitas penyakit yang dapat dipantau melalui laju endapan darah (LED) 1 jam dan pengenceran C-Reactive Protein (CRP). Dengan mempertahankan kedua faktor laboratorium tersebut dalam batas normal selama mungkin, Remisi Bebas Terapi dan Remisi dalam Terapi Pemeliharaan dapat mencegah timbulnya komplikasi yang fatal dan kematian dini.

Komunikasi yang lancar dan cepat melalui e-mail, telepon, dan faks, apabila timbul tanda dan keluhan dini kekambuhan, efek samping obat, dan infeksi, sangat menentukan bertahan lamanya remisi dalam terapi pemeliharaan dan remisi bebas terapi.

Di negara berkembang faktor sosioekonomik turut menentukan daya tahan hidup penderita lupus. Asuransi kesehatan dan jaminan sosial yang belum berkembang misalnya, membuat penderita dari golongan ekonomi bawah dan menengah mengalami kesulitan biaya untuk mendapatkan terapi optimal.

Tidak tersedianya biaya pengobatan yang berkelanjutan membuat terapi tidak memadai, sehingga memicu komplikasi yang umumnya menyebabkan kematian.

Penderita lupus dini untuk mencapai remisi dalam terapi pemeliharaan bisa menghabiskan biaya Rp 5 juta dan remisi tanpa terapi bisa menelan biaya sekitar Rp 10 juta. Bagi penderita lupus dengan komplikasi, biaya tentu lebih tinggi lagi.

Kehamilan dengan lupus

John Darmawan mengatakan, wanita dengan lupus pada tahap remisi dengan terapi pemeliharaan dan remisi bebas terapi dapat hamil dan melahirkan bayi sehat. Hanya saja metotreksat dan siklofosfamid per oral yang diberikan harus diganti dengan metilprednisolon, atau siklosporin, atau mikofenolat mofetil.

Saat kehamilan dan pascapesalinan, penderita harus diawasi ketat oleh dokter dan ahli kandungan supaya penyakitnya tidak kambuh selama hamil dan setelah melahirkan. Lupus cenderung kambuh dalam semester dua dan tiga setelah melahirkan. "Tidak ada masalah apabila ibu fase remisi dengan terapi pemeliharaan menyusui bayinya," kata dia. (SN Wargatjie)


Blogged on 10:39 AM

|

~~~

Kompas - Minggu, 17 April 2005

JIKA dilihat sikapnya yang selalu ceria, aktif ke sana ke mari, sibuk menerima telepon yang terus berdering, bercanda dengan putranya, Tiara Savitri (37) tampak seperti perempuan lain yang mempunyai banyak aktivitas. Tidak ada yang menyangka, dalam dirinya bersemayam penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE/lupus), yang bolak-balik menyerang Tiara selama 10 tahun ini.

BEGITU juga dengan Cucu Kodariyah (34), penderita lupus yang saat ini sedang dirawat di RS Kramat 128, Jakarta Pusat. Jika lupusnya tidak sedang kumat, setiap pagi Cucu pasti mengayuh sepeda sambil membawa barang dagangan ke sekolah putranya.

Ibu dua anak ini paling senang berjualan baju sambil ngobrol dengan ibu-ibu orangtua murid lainnya. Dia juga senang pergi berbelanja ke Mangga Dua, Tanah Abang, atau sekadar cuci mata.

Sementara Ririn Anggia (25), yang pertengahan Maret lalu diamputasi kaki kirinya karena lupus, saat ini sudah tidak sabar ingin kembali bekerja dan menulis buku. Seolah-olah tidak ada bahaya lupus yang mengintai dalam diri mereka bertiga.

Sampai sekarang sebagian orang belum tahu, bahkan tak mengenal penyakit lupus. Pemerintah juga belum memandang lupus sebagai penyakit yang berbahaya. Usulan untuk menjadikan tanggal 10 Mei sebagai Hari Lupus Nasional misalnya, kabarnya belum direspons Departemen Kesehatan.

Lupus sering disebut sebagai penyakit seribu wajah karena munculnya bisa berwujud penyakit lain. Jika menyerang ginjal, sering kali penderitanya divonis penyakit ginjal. Padahal sebenarnya dia menderita lupus.

Lupus terjadi tatkala sistem imunitas tubuh berlebihan sehingga tidak bisa membedakan virus atau kuman dengan sel tubuh manusia. Makanya lupus sering disebut penyakit autoimun. Dia menyerang tubuh sendiri. Sebagai perbandingan, jika penderita AIDS kekurangan daya imun tubuh, penderita lupus justru kelebihan.

Sampai saat ini belum diketahui penyebab terjadinya lupus. Penyakit ini 97 persen menyerang perempuan pada usia produktif, walaupun ada juga laki-laki yang divonis menderita lupus. Anehnya, lupus lebih sering ditemukan pada perempuan yang sangat aktif atau perempuan amat pendiam.

Tiara misalnya, ketika duduk di SMA Lab School Rawamangun, tercatat sebagai mayoret drumband sekolah. Dia juga pernah meraih Juara Harapan II Abang-None Jakarta 1987. Ketika kuliah pun, dia terdaftar sebagai mahasiswi Universitas Nasional dan IKIP Rawamangun. Namun semua aktivitas itu nyaris terhenti ketika lupus mulai bersemayam dalam dirinya tahun 1987.

"Tidak pernah terbayangkan saya menderita lupus. Kulit wajah dan tangan saya melepuh, rambut rontok, tubuh panas, Hb menurun. Padahal sejak kecil saya tidak pernah menderita penyakit yang berbahaya," ujar Tiara.

Begitu juga Ririn. Sepanjang ingatan ayah Ririn, Hasbullah Nasution (58), Ririn tumbuh dewasa tanpa pernah menderita penyakit tertentu yang bisa menjadi pencetus munculnya lupus. "Paling-paling Ririn hanya diare dan batuk-pilek biasa," ujar Hasbullah.

KEHADIRAN lupus memang sulit dideteksi oleh penderita maupun dokter. Surpan Effendi (42), warga Batam, yang sedang berada di Jakarta untuk pengobatan istrinya mengatakan, istrinya, Asnidar (34), baru ketahuan menderita lupus setelah sakit selama 2,5 tahun.

"Itu pun saya yang menemukan di internet. Dokter-dokter di Batam tidak berhasil mendiagnosa penyakit istri saya sebagai lupus. Begitu saya bilang ke dokter, Asnidar menderita lupus, baru dokter memberikan obat yang tepat," cerita Surpan bernada gemas.

Dia bercerita, setelah dokter memberikan obat yang tepat, sejenis steroid, dalam hitungan hari Asnidar (34) diperbolehkan pulang. "Padahal waktu itu Asnidar sudah dirawat satu bulan 12 hari," ujar pegawai Otorita Batam ini.

Kondisi Asnidar mulai memburuk tahun 2002, ketika putranya, Habil, berusia tiga bulan. Ketika itu seluruh persendian kakinya sakit sehingga dia tidak bisa berdiri. Pada kaki kirinya juga sempat muncul luka yang menimbulkan lubang sebesar kuku jari kelingking. "Sekarang luka ini sudah tertutup. Tetapi ketika bolong, pentul korek api bisa masuk ke lubang itu," cerita Asnidar sambil menunjukkan bekas lukanya.

Setiap kali sakit, Asnidar pasti dirawat hingga satu bulan lebih. Habil, yang waktu itu masih bayi, harus ikut menginap di rumah sakit bersama ibunya karena tidak ada yang menjaganya di rumah. "Terus terang, saya merasakan masa-masa bahagia berumah tangga hanya sekitar 1,5 tahun. Setelah Asnidar sakit, kehidupan keluarga saya seperti di neraka. Asnidar bolak-balik mencoba bunuh diri dengan loncat dari tingkat empat," cerita Surpan.

Asnidar mengaku putus asa karena terus-menerus kesakitan, sementara dokter tidak juga menemukan penyakitnya. Keinginan Asnidar bunuh diri membuat Surpan tidak boleh lengah. "Kalau dada dan kepala saya terbuat dari balon, mungkin sudah pecah dari dulu. Bayangkan saja, anak masih kecil, istri ingin bunuh diri, urusan kantor menumpuk, masih harus mengeluarkan uang untuk pengobatan," ujar Surpan yang pernah merasa ketakutan setiap kali akan masuk rumah karena sering menemukan istrinya tergeletak kesakitan, padahal sebelumnya sehat saja.

Surpan mengatakan, setiap kali Asnidar sakit, biaya rumah sakit yang harus dibayar minimal Rp 25 juta. "Tangan saya gemetar ketika pertama kali menandatangani kuitansi pengobatan Rp 64 juta. Untungnya semua biaya pengobatan ditanggung kantor. Hanya saja, setiap kali menerima amplop gaji hati saya deg-degan, dipotong tidak ya gaji saya. Eh ternyata tidak. Sejak itu, saya rajin sekali bekerja," cerita Surpan.

KEKHAWATIRAN yang dialami Surpan juga dialami Hasbullah. Ayah dari tiga anak itu selama bertahun-tahun memendam rasa khawatir yang luar biasa. Penyakit lupus yang diderita Ririn sejak tahun 1999 menjadi rahasia antara Ririn dan Hasbullah. Mereka menyimpan rapat-rapat rahasia ini dari anggota keluarga yang lain.

"Saya tak ingin ibunya Ririn tahu penyakit anaknya karena dia sendiri ketika itu sedang tidak sehat. Hanya saya dan Ririn saja yang tahu. Ibunya memang suka tanya, kok saya lebih perhatian ke Ririn, ya saya bilang saja, lha namanya juga anak," ujar Hasbullah yang tak ingin keluarganya terlalu "melindungi" Ririn karena penyakitnya.

Bagi Hasbullah, apa yang menimpa Ririn bak "bom" yang tak hanya berkekuatan meledakkan, tetapi sampai mengiris-iris hatinya. Apalagi akibat lupus, kaki kiri Ririn harus diamputasi.

"Saya sempat ragu dan bertanya-tanya ke beberapa dokter untuk mencari pendapat. Tetapi semua mengatakan hal yang sama, memang harus diamputasi. Berkali-kali saya tanya ke dokter yang akan mengoperasi Ririn, dan ketika dia bilang ’bukan hanya Bapak yang sedih, tetapi hati saya pun sebenarnya tidak tega’, akhirnya saya bisa pasrah, ikhlas kalau memang itu jalan terbaik untuknya," ucap Hasbullah.

Hanya keikhlasan pula yang membuat Ririn hingga saat diwawancara Rabu (13/4) lalu bisa tersenyum. Meski sepanjang hidup dia harus waspada karena lupus dalam tubuhnya bisa mendadak muncul tanpa "pemberitahuan" atau tanda apa pun.

"Biasanya kalau lagi kumat, badan saya panas dan di bagian tubuh tertentu terasa sakit sekali," ujar Ririn yang saat lupus tidak menyerang bisa beraktivitas seperti biasa, seakan tak ada penyakit yang diam-diam mengintai.

Pertama kali sakit, Ririn didiagnosa dokter mengalami kebocoran pada ginjal. Dia diberi obat ginjal. Namun suatu hari di Bandung, tempatnya kuliah, Ririn mengalami lagi panas tinggi. Kali ini disertai bengkak di seluruh badan. Dia pergi ke dokter dan diagnosanya tetap: ada kebocoran pada ginjal.

"Saya sempat ke beberapa dokter, sebelum akhirnya seorang dokter di Bandung bilang, saya bukan cuma sakit ginjal, tetapi lupus," cerita Ririn saat pertama kali menerima vonis lupus pada April 2000.

Ririn mengabarkan diagnosa dokter kepada ayahnya, dan mulailah Hasbullah mencari informasi tentang lupus, dokter yang bisa dihubungi, dan pengobatannya. Namun kerahasiaan antara ayah dan anak perempuannya ini tak bisa terus berlangsung setelah sekitar lima-enam tahun "hidup bersama" lupus. Sebab, suatu hari Ririn merasa kuku dan kakinya dingin sekali serta kesemutan terus-menerus, bahkan sampai terasa kebal.

"Saya coba angkat kaki kiri saya, dan tidak bisa. Itu terjadi akhir Februari, dan di rumah sakit saya harus menjalani operasi vaskuler," cerita Ririn yang melahap buku tentang lupus, pemberian salah satu dokter yang merawatnya. Oleh karena itulah, setiap kali dokter hendak melakukan tindakan pada dirinya, Ririn selalu minta diajak berdiskusi.

"Ini kan badan saya, jadi saya harus tahu apa yang mesti saya persiapkan secara fisik maupun mental. Bagaimanapun semua akibat penyakit lupus itu kan saya yang menanggung," ujar perempuan tegar yang mengibaratkan perasaannya saat harus diamputasi bak pohon yang ditebas salah satu batang pokok utamanya.

Kini, keberadaan lupus dalam dirinya semakin nyata. Ada "larangan" dokter yang harus dipatuhi Ririn agar lupus tidak memunculkan diri dalam tubuhnya, yaitu menjaga keseimbangan emosi, menghindari batuk dan pilek, dan kenali daya tahan tubuh sendiri.

PARAHNYA akibat yang bisa ditimbulkan lupus, membuat Tiara, Cucu, dan Ririn ingin berbagi cerita dan pengalaman pada orang lain. Mereka merasa ketidaktahuan membuat penanganan lupus menjadi terlambat sehingga akibat yang ditimbulkan parah sekali.

"Informasi tentang lupus selama ini masih minim. Sebagian orang masih mengenal lupus sebagai tokoh cerita remaja yang gemar makan permen karet, bukan nama penyakit," kata Tiara yang melahirkan Yayasan Lupus Indonesia (YLI) dan sekarang masih menjabat sebagai ketua yayasan tersebut. Saat ini jumlah penderita lupus yang tercatat di YLI 3.000 orang.

Tiara, Cucu, serta beberapa penderita lupus lainnya saat ini aktif mengampanyekan lupus kepada masyarakat. Beberapa kali mereka memberikan penjelasan ke ibu-ibu pengurus sekolah se-Jakarta Utara, ibu-ibu Darma Wanita, dan kelurahan-kelurahan.

Mereka juga melakukan konseling pada para penderita lupus di rumah sakit. "Pokoknya setiap kali ada pemberitahuan ada pasien lupus baru, saya pasti datang," ujar Tiara yang telah mencuri waktu putra tunggalnya, Kemal (6), karena kegiatan di YLI.

Sementara, Ririn mencoba menerima penyakit lupus dengan sikap ikhlas. "Lupus tidak harus membuat dunia saya berakhir. Saya tidak putus asa. Saya malah ingin menulis pengalaman saya supaya bisa berbagi dengan orang lain karena serangan lupus itu bisa terjadi tiba-tiba," kata gadis yang amat energik dan paling tidak bisa tinggal diam ini.

Tiara boleh dibilang berhasil "mengalahkan" lupus. Sejak tahun 1998 dia telah berhenti mengonsumsi obat untuk lupus. Walaupun demikian, dia masih harus mengalami keguguran sampai tiga kali karena lupus.

"Menurut literatur, hanya lima persen penderita yang bisa lepas dari ketergantungan obat lupus. Kuncinya, saya menerima lupus sebagai bagian dari tubuh saya, lalu mencari celah dari penyakit itu," jelas Tiara yang selalu tampil rapi walaupun sedang sakit.

Ternyata celah yang ditemukan Tiara adalah keseimbangan emosi dan mengikuti kemauan lupus. "Jangan malu-malu untuk misalnya rebahan di lantai di tempat umum jika tiba-tiba lupus menyerang. Jika kita sabar mengikuti lupus, serangannya bisa berhenti," kata Tiara.

Penderita lupus tidak boleh merasakan emosi berlebihan. Jadi mau senang, sedih, atau marah, dia harus bisa merasa biasa-biasa saja. "Jika saya sedang jengkel sama anak saya misalnya, saya langsung saja mengunci kamar atau pergi. Yang penting, saya tidak melihat wajah orang itu untuk sementara. Dengan begitu, saya bisa menenangkan emosi," katanya.

Dengan keseimbangan emosi dan fisik yang selalu dijaga Tiara, dia bisa tetap menjalankan hari-harinya dengan positif. Dia percaya, penderita lupus yang lain pun bisa melakukan hal ini. (CP/ARN)


Blogged on 10:14 AM

|

~~~

Kompas - Senin, 14 Februari 2005

Bandung, Kompas - Meskipun belum dapat disembuhkan, penyakit kelebihan kekebalan tubuh atau systemic lupus erythematosus yang lebih dikenal dengan penyakit lupus bisa dijinakkan atau dihentikan perusakannya terhadap tubuh.

Demikian dikatakan dr Rachmat Gunadi Wachjudi, dokter pemerhati lupus dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, seusai Pertemuan Ilmiah Perhimpunan Alergi Imunologi, Minggu (13/2).

"Biasanya penderita yang bisa mengatasi emosinya, misalnya, penderita yang sudah bisa menerima penyakit lupus dalam dirinya dan tidak lagi stres, bisa sembuh dari gejala-gejala lupus," kata Rachmat.

Karena gejala-gejala lupus tidak aktif lagi, penderita yang biasa mengonsumsi obat berdosis 50 miligram sehari, bisa mengurangi dosis menjadi 20 miligram sehari, atau lepas sama sekali dari obat.

Dari 320 pasien lupus yang ditanganinya, kata Rachmat, sebanyak 50 persen sudah sembuh. Mereka adalah pasien yang mengikuti aturan dan rajin berkonsultasi dengan dokter.

Sampai tahun 2005, Rachmat memperkirakan ada 500 pasien lupus di Kota Bandung. Pertambahan penderitanya sekitar 50 hingga 80 orang per tahun. Lebih dari 90 persen penderitanya adalah perempuan usia sekitar 19 tahun hingga 35 tahun.

"Kemungkinan, angka penderitanya lebih dari itu, sebab banyak penderita lupus belum dapat memastikan bahwa ia menderita lupus," kata Rachmat.

Hal ini disebabkan masih sedikitnya dokter yang paham betul tentang penyakit lupus sehingga banyak pasien masih bereksperimen pergi ke berbagai dokter spesialis untuk memastikan penyakit yang dideritanya.

Biasanya, lupus menyerang orang yang memiliki gen human leukocyte antigens (HLA) tipe DR2 dan DR3.

Sel imun di dalam tubuh terlalu aktif, bekerja melebihi fungsinya. Ia tidak hanya menyerang kuman yang merusak tubuh, tetapi merusak organ- organ tubuhnya sendiri.

Potensi lupus dalam diri seseorang baru timbul jika ada pencetus, misalnya infeksi virus. Akibatnya, gejala penyakit lupus bisa berbeda-beda pada setiap penderita.

Ada yang semula diduga demam berdarah karena yang diserang adalah trombosit, ada juga yang mengalami pilek berat, atau herpes.

"Pencetus lupus lainnya adalah obat-obatan, sinar ultraviolet, dan stres," kata Rachmat.

Penderita lupus, jelas Rachmat, tidak bisa terpapar langsung sinar matahari lebih dari empat jam.

Untuk mengetahui apakah sebuah penyakit yang diderita seseorang merupakan gejala lupus atau bukan, sebaiknya dilakukan tes Antinuclear Antibody (ANA) dan tes Deoxyribose Nucleic Acid Double-Stranded (DNA DS).

Biasanya, jika tes DNA DS dinyatakan positif, maka penyakit lupus yang diderita berkategori lupus berat.

Dian Syarief (39), salah satu penderita lupus yang membagi pengalamannya dalam acara tersebut, telah menderita lupus selama enam tahun. Ia telah menjalani operasi 17 kali.

Akibat penyakit lupus, Dian mengalami abses di otak dan kehilangan penglihatan. Ia meyakini penyakit lupus bisa dijinakkan dengan menstabilkan jiwa.(Y09)


Blogged on 10:12 AM

|

~~~

Kompas - Kamis, 3 Januari 2002


SISTEM imun atau sistem kekebalan tubuh laiknya benteng yang mempertahankan tubuh dari serangan kuman penyakit. Akan tetapi, ada kalanya sistem imun justru menyerang dan merusak tubuh. Kondisi ini disebut penyakit autoimun.
Seseorang menderita penyakit autoimun jika sistem kekebalan tubuh salah sasaran, sehingga menyerang sel, jaringan serta organ tubuh orang itu sendiri. Akibatnya terjadi peradangan di tempat sistem kekebalan tubuh menyerang.

Menurut publikasi dari Lembaga Penyakit Infeksi dan Alergi Nasional (NIAID), Lembaga Kesehatan Nasional (NIH), Amerika Serikat, Understanding Autoimmune Diseases, berbagai penyakit autoimun menyerang tubuh dengan cara berlainan. Misalnya, reaksi autoimun terjadi di otak pada multiple sclerosis serta di usus pada penyakit crohn. Penyakit autoimun lain, lupus eritematosus sistemik, menyerang bagian tubuh berlainan pada orang-orang yang berbeda meski penyakitnya sama. Ada orang yang menderita gangguan kulit dan sendi, sedangkan lainnya mengalami kerusakan ginjal dan paru. Penderita diabetes melitus tipe 1 mengalami kerusakan sel pankreas yang memproduksi insulin.

Penyakit autoimun lebih banyak menyerang wanita daripada pria, khususnya wanita usia produktif. Penyakit ini tidak menular. Kecenderungan untuk mengalami penyakit autoimun diturunkan, walau tidak selalu bermanifestasi. Manifestasinya pun seringkali berlainan, bergantung pada respon sistem kekebalan tubuh terhadap pencetus dan pengaruh lingkungan. Dalam satu keluarga besar, misalnya, ada yang menderita psoriasis (gangguan pada kulit), sepupunya kena lupus, sedang neneknya menderita arthritis reumatoid.

Sejumlah penyakit autoimun dicetuskan atau diperparah oleh infeksi virus, paparan sinar Matahari. Faktor lain yang berpengaruh adalah usia, stres kronis, hormon, dan kehamilan.

Cara kerja

SISTEM kekebalan tubuh melindungi tubuh dari serangan zat asing. Cara kerjanya sangat rumit dan mengandalkan komunikasi antarberbagai jenis sel dalam sistem kekebalan tubuh yang beredar di seluruh tubuh. Hal yang terpenting dari sistem adalah kemampuan mengenali dan merespon zat yang disebut antigen, apakah mereka penyebab infeksi atau bagian dari tubuh sendiri (self antigens).

Kebanyakan sel sistem kekebalan tubuh adalah sel darah putih. Jenisnya bermacam-macam. Antara lain limfosit yang terdiri dari sel T dan sel B. Sel T berfungsi membantu memusnahkan sel yang terinfeksi dan mengkoordinasikan respon imun secara keseluruhan. Sel B bertugas membuat antibodi. Antibodi mengikat antigen dan menandai antigen agar dihancurkan oleh sel kekebalan tubuh. Jenis sel darah putih lain adalah makrofag dan neutrofil.

Makrofag dan neutrofil bersirkulasi dalam darah untuk memantau adanya zat asing dalam tubuh. Begitu bertemu antigen asing, misalnya bakteri, mereka mengepung dan merusaknya dengan molekul beracun. Jika molekul beracun ini diproduksi berlebihan, tidak hanya antigen asing yang dirusak, melainkan juga jaringan tubuh. Pada penderita penyakit autoimun granulomatosis Wegener, molekul beracun merusak pembuluh darah. Pada arthritis reumatoid molekul beracun merusak sendi.

Sel T mengeluarkan sitokin dan kemokin. Sitokin adalah protein yang membuat sel-sel kekebalan tubuh aktif, tumbuh atau mati. Kemokin adalah sel sitokin kecil yang menarik sel sistem kekebalan tubuh. Kelebihan produksi kemokin, misalnya di persendian, menyebabkan rongga sendi diserbu sel perusak dari sistem kekebalan tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T.

Pada beberapa penyakit autoimun, sel B membuat kesalahan, tidak memproduksi antibodi terhadap antigen asing, melainkan antibodi yang menyerang jaringan tubuh. Penderita myasthenia gravis mengalami kelemahan otot karena autoantibodi menyerang saraf yang menstimulasi gerakan otot. Pada pemphigus vulgaris, autoantibodi salah perintah dan menyerang sel kulit, sehingga kulit melepuh.

Saat antibodi berikatan dengan antigen di aliran darah, mereka membentuk jaringan besar berkisi-kisi disebut kompleks imun. Kumpulan kompleks imun ini berbahaya karena bisa memicu peradangan dalam pembuluh darah dan menghambat aliran darah ke jaringan serta merusak organ seperti ginjal. Hal ini terjadi pada penderita lupus eritematosus sistemik.

Diagnosis dan pengobatan

Penyakit autoimun sulit didiagnosis, terutama stadium dini, karena gejalanya tidak spesifik. Meski penyakit autoimun merupakan penyakit kronis, perjalanan penyakit tak bisa diperkirakan. Dokter tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi pada pasien berdasarkan kondisi saat ini. Pasien perlu dimonitor terus oleh dokter, sehingga faktor lingkungan maupun pencetus yang dapat memperburuk penyakit dapat dihindari dan terapi baru dapat dimulai sesegera mungkin.

Yang dilakukan dokter biasanya menjaga agar peradangan akibat autoimun tidak berakibat buruk. Misalnya, bagi penderita diabetes tipe 1, dokter meresepkan insulin untuk mengontrol kadar gula darah, sehingga peningkatan gula darah tidak merusak ginjal, mata, pembuluh darah, dan saraf.

Pada penyakit seperti lupus atau artritis reumatoid, obat seringkali bisa memperlambat atau menghentikan kerusakan ginjal atau sendi. Obat ini disebut obat imunosupresif, misalnya kortikosteroid (prednison), methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine dan cyclosporin.

Masalahnya, obat-obatan itu menekan kemampuan sistem imun untuk mengatasi infeksi dan memiliki efek samping yang serius. Karenanya pengobatan autoimun perlu diawasi ketat oleh dokter dan mempertimbangkan keseimbangan antara keuntungan dari pengobatan dengan efek samping yang terjadi. (atk)


Blogged on 10:09 AM

|

~~~

Kompas - Selasa, 27 Juli 2004

Dalam Kongres Internasional Lupus Sedunia di New York, awal Mei lalu, lebih dari 1200 peserta dari seluruh penjuru dunia hadir, baik dari kalangan medik, perawat, peneliti, maupun mereka yang terkena lupus. Dokter spesialis yang hadir pun beragam, seperti spesialis penyakit dalam, konsultan hematologi, rematologi, ginjal, spesialis kulit dan kebidanan.


Organisasi ataupun perhimpunan orang dengan lupus juga hadir dari berbagai negara, dari Indonesia hadir Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI) yang merupakan wakil satu-satunya dari perhimpunan serupa di Asia.


Untuk diketahui saat ini, ada lebih dari 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sebagian besar pasien lupus ditemukan pada perempuan usia produktif.


Jumlah pasien di Indonesia yang secara tepat tidak diketahui diperkirakan paling tidak sama dengan jumlah pasien lupus di Amerika, yaitu 1.500.000 orang. Beberapa data menunjukkan insiden penyakit lupus ras Asia lebih tinggi dibandingkan dengan ras Kaukasia. Saat ini pasien lupus yang terdaftar sebagai anggota YLI ada 757 orang, sebagian besar berdomisili di Jakarta.


Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.


Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara pasien yang satu dan yang lain, maka gejalanya juga sering kali berbeda, misalnya pasien yang satu dengan kaki dan perut bengkak akibat kerusakan di ginjal, pasien yang lain bisa dengan anemia berat atau jumlah trombosit yang amat rendah.


Salah satu tujuan proklamasi hari lupus sedunia adalah meningkatkan kualitas layanan dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen, dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen.


Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya.


Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif, dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran masalahnya.


Obat baru penyakit lupus

Dilaporkan beberapa obat baru untuk lupus yang dibahas di Kongres Internasional Lupus di New York. Salah satu obat baru adalah LymphoStat-B, bekerja menghambat protein yang menstimulasi limfosit B (BLyS= B lymphocyte stimulator). Limfosit B adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi, odi yang salah arah pada pasien lupus.


LymphoStat-B termasuk obat golongan antibodi monoklonal, yang mengenal secara khusus aktivitas biologis protein BLyS yang menstimulasi limfosit B , kemudian menghambat aktivitas protein tersebut sehingga limfosit B tidak bisa berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Berkurangnya produksi antibodi menyebabkan aktivitas penyakit lupus mudah dikontrol.


Obat baru ini telah mendapat persetujuan FDA (Badan POM-nya Amerika), melalui jalur cepat, karena dianggap amat potensial sebagai obat penyakit SLE. Uji klinik telah membuktikan manfaat dan keamanan obat ini untuk mengobati penyakit lupus. Aktivitas penyakit lupus menurun. Obat tersebut juga memulihkan aktivitas auto imun kembali ke normal. Pada uji klinik tersebut juga dijumpai pengurangan jumlah limfosit B sebesar 12 persen-40 persen serta pengurangan kadar anti-dsDNA (double-stranded DNA); anti-dsDNA adalah salah satu kriteria penting untuk penyakit lupus.


Obat lain yang serupa LymphoStat B yang dilaporkan hasil uji kliniknya adalah rituximab (antilimfosit B) dan infliximab, yang mempunyai aktivitas anti-TNF (Tumor Necrosing Factor).


Peneliti lain melaporkan dehydroepiandrosterone (DHEA) dapat mengurangi keperluan dosis prednisone untuk pasien lupus. Khusus untuk pasien lupus dengan gangguan di ginjal (lupus nefritis), setelah mendapat obat siklofosfamid, sekarang ada 2 pilihan untuk obat pemeliharaan (maintenance), yaitu azatioprin atau mycophenolate mofetil yang ternyata hasilnya lebih baik dibandingkan dengan siklofosfamid. Masih dalam penelitian awal adalah pengobatan lupus dengan cangkok sumsum tulang, yang hasilnya cukup memberi harapan. Dapat disimpulkan, sekarang ini makin banyak pilihan pengobatan untuk SLE yang memberikan harapan baru, walaupun belum dapat memberikan kesembuhan total.

Prof Dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UI/RSCM


Blogged on 10:02 AM

|

~~~

Kompas - Minggu, 28 Maret 2004 - Konsultasi Kesehatan bersama dr. Samsuridjal Djauzi

Kasus:
"Istri saya berumur 28 tahun. Kami menikah tiga tahun yang lalu dan mempunyai seorang anak laki-laki berumur satu setengah tahun. Sejak menikah istri saya sehat-sehat saja, namun sebulan lalu ia terkena demam cukup lama, hingga lebih dari sepuluh hari. Di samping itu, rambutnya rontok lebih banyak dari biasa.

Kami berobat ke dokter dan dokter menduga terkena demam tifoid. Memang istri saya bekerja dan makan siangnya di kantor dibeli di pinggir jalan. Jadi, masuk akal jika tertular tifus. Setelah mendapat terapi dan menjalani pemeriksaan laboratorium, demamnya turun. Namun, seminggu kemudian demam timbul kembali. Kami menduga dia terlalu cepat masuk kantor dan kurang istirahat.

Istri saya berkonsultasi kembali dengan dokter dan setelah melakukan pemeriksaan jasmani dokter mengatakan mungkin penyakit istri saya bukan demam tifoid, melainkan lupus. Saya agak tercengang mendengar penjelasan dokter. Bagaimana mungkin dokter salah diagnosis dan tentu juga telah dia memberikan obat yang salah untuk istri saya. Bukankah demam tifoid berbeda dengan lupus?

Kami mematuhi anjuran dokter dan istri saya menjalani pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Ternyata hasil laboratorium menunjukkan istri saya memang terkena lupus. Menurut dokter, lupus yang diderita istri saya belum menimbulkan kerusakan pada ginjal atau sistem darah. Beliau memberikan obat jenis prednison yang harus diminum sehari 12 tablet. Setelah meminum obat tersebut demam mulai turun dan gejala yang dirasakan istri saya seperti pegal-pegal dan seriawan mulai berkurang. Pada permulaan minum obat prednison istri saya merasakan perutnya perih, namun sekarang sudah merasa lebih baik.

Ketika kakak perempuan istri saya mengetahui bahwa istri saya minum prednison dia mengatakan prednison adalah obat yang keras dan banyak efek sampingnya. Dia menganjurkan untuk berhenti minum obat dan menyalahkan dokter yang mengobati istri saya. Menurut dia prednison dapat menimbulkan darah tinggi, gula, dan tulang keropos. Saya sulit mengabaikan anjuran kakak ipar saya tersebut karena dia bekerja di apotek sebagai asisten apoteker.

Sekarang saya menjadi bingung. Hasil pengobatan menunjukkan perbaikan, namun saya juga khawatir terhadap pengaruh obat prednison tadi. Apalagi saya juga menyadari bahwa dokter istri saya ini pernah salah diagnosis. Bagaimana pendapat dokter mengenai hal ini? Saya rajin mengikuti acara kesehatan di televisi dan surat kabar. Beberapa kali saya menanti saat untuk bertanya pada dokter di acara kesehatan televisi, namun tak mendapat waktu. Jadi mohon penjelasan dokter, adakah obat yang lebih baik untuk istri saya?"

(Suwardi Jakarta)

Jawab:
MENURUT hemat saya dokter istri Anda telah bekerja secara profesional. Untuk dapat membantu memecahkan masalah kesehatan penderita, termasuk menetapkan diagnosis dan terapi, maka dokter perlu mengumpulkan data.
Pada konsultasi pertama data tersebut dikumpulkan dari wawancara dengan istri Anda (dalam istilah kedokteran disebut anamnesis) serta melakukan pemeriksaan jasmani. Berdasarkan data yang terkumpul tersebut, maka dokter memikirkan sejumlah penyakit yang mungkin menimbulkan gejala yang dialami oleh istri Anda.

Mungkin ada sekitar 4-5 penyakit yang dapat menimbulkan demam lebih dari seminggu serta rambut rontok. Penambahan data dari pemeriksaan jasmani penderita akan mempersempit kemungkinan penyakit penyebab. Amatlah dapat dipahami dokter Anda memilih demam tifoid sebagai kemungkinan terbesar yang menimbulkan keluhan pada istri Anda. Namun, dia sebenarnya juga memikirkan kemungkinan lain.

Untuk tahap pertama, maka diberikan obat untuk dugaan penyakit tadi. Tetapi biasanya dia akan memantau hasil terapi dan juga melakukan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan rontgen) untuk mengikuti apakah dugaan tadi benar atau perlu dipilih penyakit lain.

Pada konsultasi berikut ternyata dokter-setelah mempertimbangkan perjalanan penyakit, pemeriksaan jasmani ulang, pemeriksaan laboratorium, dan hasil terapi-mengubah diagnosis menjadi Lupus Eritematosus. Perubahan diagnosis ini berdasarkan data dan amat lazim dilakukan oleh dokter di mana pun di dunia ini. Jadi, kurang tepat kalau kita anggap sebagai salah diagnosis.

Memang banyak penyakit yang diagnosisnya dapat ditetapkan pada kunjungan pertama, tetapi juga cukup banyak penyakit yang memerlukan pemantauan lama dan pemeriksaan lengkap untuk sampai pada terapi. Patut diingat bahwa tugas dokter adalah meningkatkan kualitas hidup penderita, selain menyembuhkan. Jadi, terapi harus dimulai meski diagnosis yang tepat belum dapat dipastikan.

Biasanya obat yang digunakan adalah obat yang menghilangkan keluhan (obat demam misalnya) dan juga obat untuk terapi dugaan penyakit (dalam hal ini antibiotik untuk demam tifoid). Obat yang diberikan telah dipertimbangkan lebih banyak manfaat daripada pengaruh buruknya.

Saya merasa bahwa sebenarnya proses diagnosis Lupus Eritematosus terhadap istri Anda cukup cepat ditegakkan. Jadi, terapi pun dapat dilaksanakan lebih tepat. Sekarang sudah terlihat manfaatnya. Terapi yang diberikan tidak hanya bertujuan untuk menghilangkan gejala, tetapi juga mencegah atau menghentikan proses kerusakan organ tubuh akibat lupus ini.

Orang yang paling berwenang untuk mengubah terapi adalah dokter yang memahami masalah istri Anda dan mempunyai data yang lengkap tentang keadaannya. Hasil terapi tidak hanya ditentukan oleh jenis obat, tetapi juga pada pemahaman tentang keadaan fisik dan emosional istri Anda.

Sebaiknya, tidak seorang pun, termasuk saya, mengintervensi hubungan dokter-pasien yang telah terbina. Pilihan terapi yang dilakukan dokter telah mempertimbangkan dengan baik-baik segi manfaat dan mudarat obat yang dipilih. Orang lain hanya tahu sepotong-sepotong. Karena itu, tidak dapat dijadikan dasar untuk mengubah atau mengganti terapi.

Oleh karena itu, jika ada hal yang belum jelas dapat Anda komunikasikan dengan dokter yang menangani istri Anda, termasuk efek samping steroid yang diberikan kepada istri Anda. Informasi dari ruang kesehatan di televisi, surat kabar (seperti ruang konsultasi kesehatan ini ), dan sebagainya tidak dapat dijadikan dasar untuk mengubah atau menghentikan terapi karena terapi hanya dapat diberikan melalui proses cara kerja dokter yang telah dijelaskan. Cara kerja tersebut berlaku universal di seluruh dunia karena sudah merupakan kebiasaan profesional seorang dokter.


Mudah-mudahan penjelasan ini bisa membantu dan istri Anda tetap dalam keadaan baik. *


Blogged on 10:02 AM

|

~~~

Jakarta, Kompas - Senin, 09 Mei 2005

Meski setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita lupus baru di seluruh dunia, perhatian pemerintah terhadap penyakit ini masih belum begitu besar di Indonesia. Rendahnya perhatian terhadap kasus ini terutama karena belum adanya penyebab pasti, selain jumlah penderitanya yang masih sekitar 5.000 orang di Indonesia.

Masalah itu mengemuka dalam seminar sehari bertema "Penyakit Lupus Masalah Besar Indonesia" di aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Minggu (8/5) siang.

Seminar yang juga dihadiri para penderita lupus itu menampilkan pembicara dr Yoga Iwanoff Kasjmir SpPD KR dari Divisi Rheumatologi FK-UI, Dr dr Suhardjono SpPD KGH dari Divisi Ginjal dan Hipertensi FK-UI, dengan moderator Prof dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM.

Hadir pula dua penderita lupus, Cucu Kodariah yang terkena lupus kulit dan sendi serta Ririn Anggia Puteri (vaskulitis dan ginjal), yang menuturkan pengalamannya.

Acara ini untuk menyongsong Hari Lupus Sedunia yang jatuh pada hari Selasa (10/5), yang juga akan diperingati dengan malam renungan di pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, Selasa malam.

Sebab belum pasti

Rendahnya perhatian pemerintah terhadap kasus ini lebih disebabkan oleh belum adanya penyebab pasti penyakit lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Selain itu, juga karena SLE memiliki sebaran klinis cukup luas.

Yoga Kasjmir mengatakan, sebaran gejala SLE bisa ke ginjal, kulit, sendi, jantung, darah, hati, saluran pencernaan, mata, paru-paru, saraf, suhu badan, hingga kejiwaan.

Karena itu, simtom awal pada tiap penderita tak selalu sama. "Ada pasien yang terus meriang dan sumang, ada yang tiba-tiba merasa detak jantungnya tidak teratur, ada pula yang lemes-lemes seperti anemia, kulitnya gatal-gatal, batuk berkepanjangan, hingga yang menyerang saraf sampai kejang dan koma," ujarnya.

Maka Yoga menggelari penyakit ini berperangai seperti "bunglon". Kalau daunnya merah, ia berubah menjadi merah. Kondisi inilah yang menyulitkan para dokter untuk mendiagnosisnya. Perangai yang berubah-ubah itu juga membuat tingkat kesadaran masyarakat sangat rendah.

Seorang penderita lupus kulit dan sendi bercerita, sebelum mengetahui dirinya terkena lupus, ia berobat ke dokter kulit karena tiba-tiba kulitnya merah-merah seperti luka bakar. "Repotnya, meski diobati tidak pernah sembuh, dokter kulit saya tidak pernah merujuk ke dokter lain. Setelah diperiksa di laboratorium baru ketahuan kalau lupus," katanya.

Untuk mengatasinya, Yoga menyarankan pendefinisian SLE sebagai prototipe penyakit rematik otoimun kronis dengan sebaran klinis sangat luas, ditandai oleh produksi antibodi berlebihan pada inti sel.

Karena otoimun, SLE biasanya berjangka panjang, kronis, dan menyerang bagian-bagian tubuh. Dalam arti bisa ke kulit, ginjal, hati (lever), mata, atau bagian tubuh lain.

Untuk memudahkan diagnosis, Yoga mengatakan, setidaknya si penderita memiliki empat dari 11 kriteria ACR (American College of Rheumatology).

Kriteria

Ke-11 kategori itu mencakup radang sendi, ruam kupu-kupu (malar rash) yaitu merah-merah pada kulit muka, ruam diskoid, fotosensitivitas, serocitis, luka/tukak mulut seperti sariawan berkepanjangan, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, ANA+ (antibodi), dan Ds-DNA (Double Standard DNA). Khusus untuk odapus ginjal atau penderita lupus nefritis, Dr dr Suhardjono menekankan pentingnya biopsi.

Yoga mengatakan, tantangan utama SLE di Indonesia terletak pada belum diketahui secara pasti besarnya masalah penyakit tersebut. Ia mengakui, hingga saat ini Indonesia belum memiliki angka pasti jumlah penderita SLE, termasuk angka kekerapannya. Masalah itu hingga saat ini masih terus dikaji oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) bekerja sama dengan Departemen Kesehatan.

Sedangkan angka kekerapan di Indonesia, Yoga memprakirakan mencapai 1:4 persen. Angka itu ia ambil dari jumlah pasien yang mengunjungi klinik rheumatologi RSCM. Ia mengakui, jumlah itu masih lebih kecil dibandingkan dengan angka kekerapan di AS yang mencapai 1:1.000, mayoritas diderita oleh kaum perempuan. Ia mengibaratkan, penyakit lupus di Indonesia sebagai "gunung es" yang baru terlihat permukaannya.

Prof dr Zubairi Djoerban menambahkan, sebab pasti mengapa hampir 90 persen penderita adalah kaum perempuan belum ditemukan. Namun, diduga adalah peningkatan hormon estrogen yang umumnya ada pada perempuan serta faktor genetik.

Zubairi menegaskan, penyebab masalah SLE kurang tertangani dengan baik, terutama karena penyakit lupus belum memasyarakat dan kondisi para dokter yang belum terampil. Hal itu masih ditambah tidak adanya komitmen atau political will dari pemerintah.

"Melihat perkiraan jumlah yang tampaknya masih jauh dari keadaan sesungguhnya, maka dengan melakukan ekstrapolasi data penderita lupus di Indonesia bisa lebih besar dari angka di Amerika. Inilah yang perlu diwaspadai di masa mendatang," ujarnya. (RIE)


Blogged on 10:01 AM

|

~~~

Kompas - Senin, 12 Juli 2004
Mendiagnosa Penyakit Lupus Sering Salah



Bandung, Kompas - Penyakit Sistemyc Lupus Erythematosus atau yang lebih dikenal dengan Lupus sering salah didiagnosa oleh dokter. Hal ini disebabkan penyakit Lupus mempunyai gejala yang hampir sama dengan penyakit lainnya.

"Gejalanya memang tidak ada yang spesifik," kata dr Heri Fadjari SpPD dalam Acara Kelompok Edukasi Sahabat Odapus di Aula Bumi Medika Ganesa Bandung, Minggu (11/7).

Menurut Hematolog Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) itu, gejala yang dirasakan penderita Lupus hanya berupa demam, nyeri sendi, lemah atau lesu, dan rendahnya jumlah trombosit.

"Susahnya, dokter-dokter pun tidak banyak yang sadar bahwa itu adalah gejala penyakit Lupus. Jangankan mantri Puskesmas, dokter spesialis saja banyak yang tidak menguasai," ujar Heri.

Kebanyakan penderita Lupus yang meninggal namun belum sempat terdekteksi, mereka hanya dianggap terkena stroke, penyakit jantung, atau pendarahan di otak.

Oleh karena itu, Heri memandang kondisi penyakit Lupus di Indonesia sebagai fenomena gunung es. Penyakit Lupus adalah penyakit sistem imunitas di mana jaringan di dalam tubuh dianggap benda asing sehingga timbul reaksi yang justru merusak berbagai sistem organ tubuh.

Organ tubuh yang sering dirusak, yaitu jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, pembuluh serta sel-sel darah.

Sampai saat ini belum ada penjelasan yang pasti mengenai penyebab penyakit Lupus. Heri mengatakan, sampai saat ini hanya ada dugaan sementara bahwa penyakit yang diderita sekitar 5 juta orang di seluruh dunia itu berasal dari faktor genetik.

Faktor genetik ini erat hubungannya dengan kenyataan, bahwa ras tertentu lebih rentan terhadap penyakit Lupus. Masyarakat Asia dan Afrika cenderung mudah terkena penyakit ini dibandingkan masyarakat Eropa atau Amerika.

"Sebagai ilustrasi, dari 100 orang dengan gejala Lupus, terdapat 9 atau 10 orang yang dinyatakan positif. Sedangkan di negara Barat mungkin hanya 3 atau 4 orang," kata Dr Rachmat Gunadi dari Klinik Rheumatologi dan Osteoporosis RSHS. Kalaupun ada orang Eropa atau Amerika terkena penyakit Lupus, lanjut Rachmat, organ yang terkena kebanyakan hanya sampai sebatas kulit saja.

Hal ini ditambah lagi dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit Lupus. "Walaupun hampir sama mematikannya, kebanyakan orang lebih ngeri sama kanker daripada penyakit Lupus," ujar Heri.

Sebanyak 95 persen penderita Lupus adalah wanita aktif usia produktif dengan kisaran umur 15 - 44 tahun. Walaupun begitu, perempuan penderita Lupus boleh saja hamil.

Dari data sementara RSHS Bandung, pada tahun 1999- 2004, jumlah penderita Lupus di Kota Bandung sebanyak 286 orang. (J15)


Blogged on 9:42 AM

|

~~~

Republika - Minggu, 08 Mei 2005 - Konsultasi Kesehatan

Assalamu'alaikum wr wb
Prof Zubairi yth,
Istri saya, 30 tahun, sejak enam bulan terakhir kondisinya makin lemah, mukanya tampak pucat. Bila naik tangga cepat capek dan kelihatan sesak napas. Tiga bulan terakhir ini, ia juga mengeluh sendi-sendi jarinya terasa linu. Dua minggu yang lalu saya ajak berobat ke rumah sakit, diperiksa darahnya dan ternyata kadar hemoglobinnya tinggal 6 g%. Dokter kemudian menyuruh untuk diopname agar istri saya ditransfusi. Namun menurut dokter jaga, darah tidak bisa dikeluarkan dari PMI karena ada ketidakcocokan antara darah istri saya dengan darah donor. Setelah melalui prosedur yang agak rumit, akhirnya darah dikeluarkan juga dari Unit Transfusi Darah PMI.

Kondisi istri saya sekarang jauh lebih baik. Kini, setelah pulang ke rumah, ia dapat mengerjakan aktivitas rumah tangga sehari-hari. Pertanyaan saya:
1. Mengapa sama-sama golongan darah B, namun pada tes di PMI terdapat ketidakcocokan?
2. Mengapa sampai sekarang istri saya harus minum prednison dan dokter menyebutnya penyakit lupus. Setahu saya, kelainan pada penyakit lupus adalah berupa kelainan di kulit, rambut rontok, dan ginjal, yang semua itu tidak dijumpai pada istri saya.

Bowo, Jakarta

Assalamu'alaikum wr wb
Pak Bowo,
Gejala utama yang tampak pada istri Anda memang anemia. Hal ini dapat disimpulkan dari keluhannya yang mudah capek, muka tampak pucat, dan sesak napas bila beraktivitas berat. Melalui pemeriksaan laboratorium juga kadar hemoglobin sangat rendah. Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal yang berbeda, seperti sel-sel darah merahnya lebih cepat lisis/mencair dibanding normal (anemia hemolitik), pembentukan sel darah merahnya terganggu (anemia aplastik), atau akibat kekurangan salah satu zat gizi sebagai komponen pembentuk sel darah merah (anemia defisiensi).

Anemia hemolitik dapat disebabkan antibodi yang merusak sel darah di tubuh sendiri (autoimun) atau nonautoimun seperti pada malaria dan talasemia. Jadi jika merujuk pada surat Anda, istri Anda mengalami anemia hemolitik yang jenis autoimun.Mengapa ada ketidakcocokan sewaktu tes di PMI? Hal ini terjadi karena darah istri Anda mengandung antibodi yang akan menyerang sel darah merahnya sehingga saat dilakukan tes pencocokan silang (cross match) dengan darah donor yang sekalipun bergolongan sama akan tidak cocok.

Dari data yang Anda sertakan yaitu istri Anda mengalami anemia hemolitik, sakit sendi, pemeriksaan laboratorium menyatakan C3 dan C4 kadarnya rendah dan anti dsDNA positif, maka tampaknya istri Anda menderita penyakit Lupus. Lupus, memang merupakan penyakit yang mempunyai gejala yang sangat beragam. Gambaran penyakit pada satu pasien belum tentu ditemukan pada pasien yang lain. Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai penyakit ini, Anda dapat melihat pada rubrik ini di edisi-edisi yang sudah lewat beberapa jawaban mengenai penyakit lupus.Anda tidak usah khawatir, yang penting istri Anda tetap rajin berkonsultasi dengan dokter. Penyakit lupus dapat dikontrol dengan pengobatan yang tepat sehingga istri Anda dapat tetap beraktivitas dengan normal.

(Zubairi Djoerban)


Blogged on 9:38 AM

|

~~~

Republika - Selasa, 19 April 2005
Mengenali Penyakit Rematik



Penyakit rematik merupakan sebutan untuk gangguan persendian. Namun, ada juga jenis penyakit rematik yang tidak menyerang sendi melainkan di otot atau jaringan ikat di luar sendi. Penyakit rematik jenis ini banyak sekali, ada lebih dari 100 jenis.

Menurut dr Nyoman Kertia, SpPD-KR, kepala Sub Bagian Reumatologi, Bagian Penyakit Dalam RS Dr Sardjito/Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, penyakit rematik yang paling umum dan banyak terjadi di masyarakat adalah osteoartritis (OA), artritis gout, artritis reumatoid (AR), dan osteoporosis. Orang awam biasa menyebut artritis gout sebagai asam urat. Penyakit yang biasanya juga disebut pirai ini banyak terjadi, tapi banyak orang yang tidak mengetahuinya.

Penderitanya cenderung berumur setengah baya, terutama laki-laki. Umumnya pasien sudah mempunyai kadar asam urat yang tinggi dalam darahnya.''Asam urat tidak menyerang wanita yang belum menopause karena wanita masih memiliki hormon estrogen yang membantu mengeluarkan asam urat dari darah ke kencing,'' jelas Nyoman. Gejala pirai sangat khas, yakni salah satu sendi mendadak sakit, dan kebanyakan hanya satu. Yang disukai pirai adalah sendi-sendi jari kaki, sendi pergelangan kaki, dan sendi lutut. Kadang-kadang sendi di tangan juga bisa terkena pirai.

Ciri-cirinya adalah persendian kaku, bengkak, merah, sulit berjalan, dan bergerak. Bila diobati, penyakit asam urat ini sembuh. Bahkan, tidak diobati pun rasa sakit berkurang, atau seperti sembuh. Namun, kadang-kadang mendadak kambuh lagi.

Mengelola kadar asam urat
Pirai disebabkan oleh faktor bawaan, dan makanan. Yang faktor bawaan sulit untuk dicegah. Sementara faktor makanan bisa dihindari. Makanan yang bisa mendatangkan asam urat adalah jeroan, emping/melinjo, kacang-kacangan, sayur kobis, sawi, bayam, kangkung, durian, nanas, makanan kaleng, dan minuman.

Rata-rata hampir semua makanan mengandung asam urat. Hanya saja, ada yang banyak dan ada yang sedikit. ''Sesungguhnya soal makanan tidak harus dilarang. Boleh saja seseorang mengonsumsi makanan yang mengandung asam urat, tetapi jangan banyak-banyak,'' saran Nyoman. Awalnya asam urat ada dalam darah. Lama-lama penyakit ini masuk ke sendi sehingga menyebabkan rasa sakit di sana. Maka, yang penting bagaimana kadar asam urat dalam darah rendah agar asam urat ini diserap oleh sendi. Ada kalanya asam urat dalam darah normal tetapi sendi tetap sakit. Ini karena asam urat di sendi masih banyak.

Bila pirai disebabkan oleh faktor genetik penderita biasanya disarankan untuk minum obat secara rutin. Tetapi, kalau lebih banyak disebabkan oleh karena minuman (alkohol) atau makanan yang banyak mengandung asam urat, maka penderita bisa diobati dengan baik asal menghindari makanan/minuman yang mengandung asam urat. Jika disebabkan oleh faktor genetik, penyakit pirai muncul sebelum usia 30 tahun.

Pengobatan dilakukan dengan melihat kondisi penderitanya. Apakah mereka sedang kambuh atau tidak. Bila tidak sedang kambuh, penderita pirai harus berusaha mengurangi kadar asam urat dalam darahnya dengan obat agar asam urat dalam darah tidak naik. Kalau penderita sedang kambuh, mereka diberi obat untuk mengurangi rasa sakit. ''Kalau pasien saya kadang saya suntik antiradang,'' kata Nyoman.

Osteoartritis
Orang-orang yang sudah berusia lanjut biasanya terkena osteoartritis. Kalau pun sampai menyerang orang yang masih setengah baya, bisa jadi orang tersebut terlalu gemuk, sulit menahan badan yang terlalu besar, trauma yang berkali-kali, dan terbentur lututnya. Atau, sendi lainnya sering terbentur sehingga merangsang terjadinya osteoartritis. ''Di antara pasien rematik yang datang berobat pada saya, penderita osteoartritis paling banyak, bisa sekitar 70 persen,'' kata Nyoman.

Yang paling sering terkena osteoartritis adalah lutut. Sendi panggul, dan sendi jari tangan paling ujung juga bisa terkena. Pencegahannya yang penting berat badan tidak berlebih, dan lutut jangan sering terkena trauma yang keras. Bila sudah terkena osteoartritis, jangan banyak jalan, olahraga berenang, dan naik sepeda. Ada obat-obat semacam suplemen yang bisa menumbuhkan tulang rawan, tetapi harus diminum dalam jangka waktu yang lama. Obat yang disuntikkan memberikan hasil yang lumayan bagus, tetapi harganya agak mahal. ''Saya menyebutnya disuntik oli sendi. Pada sendi-sendi tertentu memang ada olinya.

Kalau tidak ada oli, sendi kaku dan kalau dipaksakan berjalan justru sendinya rusak. Setelah disuntik oli, ada yang bertahan beberapa tahun bagus, tetapi ada juga yang hanya setahun olinya sudah habis,''jelas Nyoman. Penyakit artritis reumatoid disebabkan oleh faktor genetis. Biasanya dimulai akibat reaksi kekebalan. Kalau tidak diobati, penderita akan nyeri terus. Umumnya penyakit ini paling menyukai sendi tangan. Sendi kaki dan lutut juga bisa terkena. Gejala penyakit ini penderita akan merasakan kaku-kaku yang sangat pada pagi hari. Penyakit ini dapat mengenai semua orang pada semua usia, dan menyukai wanita usia reproduktif.

Osteoporosis adalah penyakit keropos tulang yang disebabkan oleh berkurangnya kandungan kalsium tulang. Osteoporosis paling banyak mengenai wanita yang sudah menopause dan bisa menyebabkan patah tulang. Obat osteoporosis banyak tetapi mahal, sehingga lebih bagus pencegahan. Untuk mencegahnya sebaiknya mulai janin dalam kandungan, misalnya ibu waktu hamil minum kalsium yang cukup, vitamin D, fosfor, dan gizi yang bagus. Setelah lahir diberikan cukup gizi dan makanan yang mengandung kalsium, aktif berolahraga sehingga tulang tumbuh dengan baik, dan sering terkena sinar matahari.

Rematik pada Anak-anak
Rematik tak hanya menyerang orang dewasa. Ada juga jenis rematik yang menyerang anak-anak dan anak muda, yaitu:
* Juvenille Reumatoid Artritis
Pada anak-anak gejalanya tidak khas, di antaranya badan panas dan ketika sendi, terutama di tangan ditekan-tekan, terasa sakit. Biasanya ada faktor bawaan yang dirangsang oleh adanya infeksi.
* Kawasaki
Biasanya badan panas dan ada bercak-bercak merah di seluruh badan.
* Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Penyakit ini sering dijumpai pada wanita muda. Penyakit sistemik ini dalam keadaan ringan hanya mengenai organ tidak berbahaya, dengan gejala timbul bercak merah-merah. Namun, bisa juga berbahaya bila mengenai organ seperti ginjal, jantung, paru-paru, sumsum tulang, sistem peredaran darah, dan syaraf. Kalau mengenai sendi, sendi sakit, bengkak, dan kaku. Penyakit ini agak khas, diikuti dengan sariawan.
''Kalau ada sakit-sakit sendi dan sering sariawan, rambut rontok, orang demam terus, perlu berpikir barangkali ada penyakit SLE,'' saran Nyoman. Penyakit SLE ada faktor genetik. Infeksi apa saja kadang merangsang timbulnya lupus. Hawa dingin bisa menambah sakit.


* Spondiloartropati seronegatif.
Penyakit ini kebanyakan menyerang laki-laki usia muda.


Blogged on 9:37 AM

|

~~~

Pemakaian Silikon tidak dianjurkan bagi penderita Lupus. Untuk berita yang relevan, silahkan simak tulisan berikut ini:

Republika - Sabtu, 16 April 2005

Dilema Pemasaran Implan Silikon



Sudah 13 tahun berlalu sejak pemerintah AS memberlakukan larangan pemasaran implan silikon untuk payudara. Kini, AS sepertinya ragu terhadap keputusan larangan tersebut. Pekan lalu, masalah izin ini dibahas dalam Dewan Penasihat Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA). AS sepertinya ingin menarik pelarangan izin implan tersebut. Ini terlihat dari rapat oleh Dewan Penasihat FDA yang membahas izin pemasaran kepada dua perusahaan produsen silikon Inamed Corp dan Mentor Corp.

Meski demikian, Dewan Penasihat menunjukkan sikap sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara permohonan izin pemasaran implan silikon untuk perbesaran payudara. Kehati-hatian itu terlihat dari keputusan yang memberikan izin hanya kepada produk silikon keluaran Mentor Corp.

Izin itu pun hanya berlaku kalau Mentor Corp mampu mematuhi sejumlah persyaratan yang tidak mudah dipenuhi. Kendati demikian, pemberian izin oleh Dewan Penasehat FDA ini belum tentu akan mengakhiri pelarangan pemasaran silikon selama 13 tahun terakhir ini. Sebab, FDA bisa saja tidak sependapat dengan tim penasihatnya itu.

Di mata Dewan Penasehat FDA, bukti-bukti yang diajukan Mentor Corp cukup meyakinkan. Perusahaan yang lebih miskin pengalaman dibandingkan Inamed Corp ini bisa menunjukkan data-data yang menegaskan keunggulan produknya. Meski gel silikon produksi Mentor Corp belum teruji mampu bertahan selama 10 tahun, pengujian mekanis sudah menunjukkan kekuatannya.

Sementara itu, Inamed dianggap tidak bisa menjelaskan seberapa lama implan dapat bertahan di dalam tubuh. Inamed juga belum mampu menceritakan apa yang bakal terjadi jika suatu saat implan bocor dan menggenangi payudara. Hal-hal semacam ini tidak terjawab oleh Inamed.

Menurut salah seorang penasehat FDA, Dr Amy Newburger, informasi tersebut amat diperlukan untuk menilai keamanan implan. Ketiadaan informasi otomatis membuat FDA tidak bisa memberi lampu hijau bagi pemasaran kembali implan silikon. ''Sebab, kami mendahulukan keselamatan pasien,'' imbuh pakar dermatologi ini.

Secara statistik, kebocoran terjadi pada sekitar 10,6 persen pasien kanker payudara yang menjalani pencangkokkan. Berdasarkan pengamatan ilmuwan di FDA, sekitar tiga per empat implan akan bocor dalam satu dekade. Itu terjadi karena implan rentan terhadap usia. ''Ketahanannya tidak bisa dipastikan,'' ungkap ahli statistik FDA, Pablo Bonangelino. Panelis penasehat FDA berpendapat suatu saat implan silikon pasti bisa kembali dipasarkan. ''Sebetulnya tiap wanita paham implan tidak tahan seumur hidup. Yang mereka harapkan implan bisa dipakai setidaknya selama 10 tahun,'' ujar beberapa panelis. Ketika bocor, pasien cangkok payudara kerap tidak mendapatkan gejala khas.

Untuk mendeteksinya, Inamed menyarankan agar pasien menjalani MRI scans tiap tahun. Scanning ini menelan biaya sekitar beberapa ratus dolar AS. Implan payudara yang berisikan gel silikon pernah dijual besar-besaran di tahun 1970-an hingga 1980-an. FDA mulai menaruh perhatian besar pada masalah ini pada tahun 1992. Sejak itu, FDA mengeluarkan pembatasan izin penggunaan silikon implan.

Faktor terpenting yang menjadi pertimbangan FDA ialah masalah keamanan dan kekuatan silikon. Implan secara luas telah terbebas dari tuduhan pemicu penyakit kronis macam kanker dan lupus. Tetapi, implan tetap memiliki efek samping. Baik berupa infeksi, rasa sakit, dan luka pada jaringan. Implan juga bisa bocor dan jika itu terjadi pasien harus dioperasi untuk pengangkatan atau penggantian implan


Blogged on 9:34 AM

|

~~~

Republika - Sabtu, 16 Oktober 2004'Buta Mata Bukan Akhir Segalanya'


Meski tergolong tuna netra, bukan berarti orang yang mengalami low vision tidak bisa melihat sama sekali. Hal itu dialami Ketua Yayasan Syamsi Dhuha, Dian Syarif. Ia mengalami low vision sebagai dampak dari pengobatan atas penyakit lupus yang dideritanya. Saat ini kemampuan penglihatan wanita berkerudung ini tinggal lima persen. Dengan keterbatasan penglihatannya, terkadang ia masih bisa menebak benda apa yang ada di dekatnya.

Ketika low vision itu terjadi, menurut Dian, semula dirinya merasa terpukul dan shock. Pasalnya, mata yang menjadi alat utama penglihatan, tiba-tiba menghilang begitu saja. Pada awalnya, ia merasa tidak percaya diri kalau pergi ke mana-mana dan harus didampingi.

Dian mencoba untuk mengenali kehidupan sesamanya yang ada di Wyata Guna. Di sanalah, timbul keberanian dan rasa percaya dirinya untuk melakukan sesuatu, bahkan bepergian seorang diri. ''Yang membuat aku bangkit ketika mengalami krisis, aku bertemu orang yang kondisinya lebih jelek dari aku. Sehingga, aku sadar kalau sebenarnya masih beruntung memiliki lima persen penglihatan lagi,'' katanya.

Selain datang ke Wyata Guna, Dian juga sering belajar dari sebuah keluarga yang kedua orang tuanya buta sedangkan tujuh anaknya melihat semua. Namun, kata dia, si ibu tetap bisa memasak dan menyuapi anaknya. Setelah melihat ibu yang buta itu, kata dia, dirinya jadi berani memasak ke dapur. Padahal, kata dia, sebelumnya tidak ada keberanian untuk itu.''Saya belajar memasak, dengan membedakan panas untuk mengetahui sudah matang atau belum,'' tuturnya.

Menurut Dian, ayahnyalah orang yang paling berperan memberikan dukungan di saat dirinya krisis. Ia selalu ingat akan kata-kata ayahnya yang mengatakan, tidak apa-apa kehilangan indera penglihatan karena akan digantikan oleh indera lain.

Pada awalnya, lanjut Dian, dirinya tidak mengerti perkataan ayahnya itu. Namun, setelah berjalan beberapa lama, dirinya mulai sadar kalau mata hatinya bisa lebih tajam dibanding mata biasa. Ketajaman hati, kata dia, akan lebih berperan lagi kalau indera peraba (kulit) juga digunakan.

Pengalaman serupa, juga dialami Disi Tarsidi, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia, yang juga dosen jurusan pendidikan luar biasa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dia merupakan salah seorang yang dilahirkan dalam keadaan buta total. Namun, meskipun mempunyai keterbatasan dalam hal penglihatan, ia pulang pergi keluar negeri seorang diri tanpa pendamping.

Negara-negara di Asean, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, sudah beberapa kali dikunjunginya. Selain itu, negara Eropa seperti Kanada, Denmark, Norwegia, dan Italia sudah juga dia sambangi. Bahkan, di Norwegia, ia pernah tinggal selama tiga bulan.

Didi mengaku pernah mengalami berbagai pengalaman penerbangan. Dari mulai penerbangan internasional yang sangat baik pelayanannya, sampai beberapa penerbangan domestik yang memperlakukan tunanetra dengan diskriminatif. Bahkan, menurut dia, temannya sesama tunanetra pernah menuntut salah satu maskapai penerbangan sebesar Rp 200 juta, karena pada saat akan ke Makassar, temannya tidak boleh naik ke pesawat karena tunanetra dan tidak membawa pendamping.

''Pada penerbangan dalam negeri, kami tunanetra selalu mengalami kesulitan ketika akan naik pesawat seorang diri. Bahkan, oleh Pelita Air, saya harus menandatangani surat tidak akan menuntut kalau terjadi sesuatu, kenapa saya saja yang harus menandatangani, itu namanya diskriminatif,'' kata Didi.

Menurut Didi, pada awal perjalanannnya ke luar negeri, dirinya memang sempat stres ketika masih berada di dalam pesawat. Namun, kata dia, dirinya tidak memiliki pilihan lain, sehingga mau tidak mau harus dilakukannya. Pasalnya, kata dia, tiket yang diberikan untuk tugas hanya untuk satu orang, sehingga tidak bisa menggunakan pendamping.

Semua tempat yang belum pernah dikunjunginya, sambung Didi, pasti akan asing meskipun berada di dalam negeri. Apalagi, kata dia, kalau tempat tersebut berada di luar negeri dan tidak ada pendampingnya. Oleh karena itu, sebelum pergi dirinya mencari tahu terlebih dahulu semua tempat yang akan didatanginya itu.


Blogged on 9:31 AM

|

~~~

Republika - Minggu, 25 Juli 2004Selalu Lemas dan Susah Tidur

Dokter Zubairi yth,
Saya seorang karyawati berusia 35 tahun. Sudah lima bulan ini, saya merasa badan selalu lemas. Awalnya, saya kira karena beban pekerjaan yang sangat banyak sekitar dua bulan yang lalu. Tapi, rasa lemas ini tidak pernah hilang walaupun sekarang pekerjaan saya sudah kembali normal bahkan cenderung santai.

Menurut beberapa teman, mungkin saya kurang darah. Saya lalu minum obat penambah darah seperti yang sering diiklankan di televisi. Tapi rasanya, keluhan saya tidak membaik. Orang-orang yang saya ceritakan mengenai keluhan saya menganggap, yang saya alami adalah hal biasa, mungkin saya terlalu jenuh dengan pekerjaan dan perlu berlibur. Namun, saya ragu apakah memang demikian karena saya menyukai pekerjaan saya dan tidak ada stres dengan pekerjaan akhir-akhir ini.

Dok, apakah mungkin ada penyakit yang saya derita yang menyebabkan rasa lemas berkepanjangan ini? Selain rasa lemas, kadang-kadang saya juga sulit tidur. Untuk dokter ketahui, tiga bulan yang lalu saya cek ke laboratorium dan dinyatakan semuanya normal.

Siska, Jakarta

Mbak Siska yang baik
Kita semua pernah merasa lelah dan lemas. Hal ini merupakan akibat yang normal, yang biasanya terjadi akibat kelelahan setelah melakukan berbagai aktivitas. Hanya saja, jika rasa lemas itu berkepanjangan dan sudah menyebabkan performa kita turun dibanding biasanya, tentu perlu dicari penyebabnya.

Kurang darah atau anemia dapat menjadi salah satu penyebab. Jika hasil pemeriksaan darah menyatakan kadar hemoglobin normal maka tidak perlu minum obat 'penambah darah'. Rasa lelah dan lemas yang berkepanjangan dapat juga diakibatkan oleh gangguan tidur, nyeri kronik, alergi yang menyebabkan demam atau asma, hipotiroid, penggunaan alkohol atau narkoba, depresi, infeksi (misalnya infeksi parasit, AIDS, tuberkulosis), gagal jantung, diabetes, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit Addison, anoreksia atau gangguan makan lainnya, penyakit radang sendi, penyakit autoimun seperi lupus, malnutrisi, dan kanker.

Jadi, memang penyebabnya banyak sekali. Jika memang disebabkan suatu penyakit, biasanya akan ada gejala-gejala lain yang dialami. Walaupun Mbak Siska merasa tidak ada gejala lain kecuali sulit tidur, ada baiknya Anda berkonsultasi ke dokter untuk menelusuri penyebabnya. Mungkin ada gejala yang Anda anggap tidak berarti, namun sebenarnya merupakan tanda penyakit tertentu. Dokter akan mengajukan pertanyaan yang lebih rinci dan melakukan pemeriksaan.

Jika rasa lemas tidak kunjung hilang dan berkepanjangan selama lebih dari enam bulan serta setelah dilakukan evaluasi menyeluruh tidak ditemukan penyakit tertentu, mungkin Anda mengalami gejala yang disebut chronic fatigue syndrome. Gejalanya, selain rasa lemah adalah nyeri kepala, nyeri otot atau sendi, serta sulit konsentrasi. Sindrom ini lebih sering dialami wanita dan akan bertambah berat bila ada kelelahan fisik atau mental seperti depresi.

Pengobatan rasa lemah harus disesuaikan dengan penyebabnya. Jika memang tidak ditemukan penyebab yang pasti, maka yang diatasi adalah gejala-gejala yang dialami. Misalnya, bagaimana memperbaiki pola tidur dan merelaksasikan otot. Caranya bisa bermacam-macam, baik melalui pola makan yang sehat, seimbang, dan teratur, rajin berolahraga, yoga, menekuni hobi yang mungkin tidak pernah lagi dikerjakan, membaca, dan lain-lain. Olahraga yang dilakukan tidak boleh yang terlalu melelahkan. Lakukan olahraga ringan seperti senam ringan dan jalan pagi.


Blogged on 9:30 AM

|

~~~