Google
Search WWW Search care4lupus.blogspot.com

Sunday, May 15, 2005

Minggu, 28 Juli 2002 - Republika
Aku Lahirkan Bayiku Bersama Lupus

Lupus memang tak populer. Jangankan masyarakat awam, para dokter pun kerap terkecoh. Gejalanya yang tidak spesifik membuat Lupus kerap dikira penyakit lain. Akibatnya ketika Lupus terdeteksi, perjalanan penyakit sudah demikian jauh. Inilah yang dialami Tiara Savitri, salah seorang odapus (orang dengan lupus) yang kini dipercaya menjadi ketua Yayasan Lupus Indonesia.

Wanita kelahiran Beograd pada 5 Agustus 1968 ini mulai jatuh sakit pada tahun 1987 dengan gejala panas tinggi. Ia pun dilarikan ke rumah sakit dan menjalani rawat inap. Namun dokter belum berhasil mendeteksi penyakitnya. Titik terang mulai muncul pada Mei 1988. ''Waktu itu saya dipindah ke RSCM karena ada informasi bahwa rumah sakit ini memiliki dokter super spesialis penyakit ini. Saat itulah, saya mulai diduga menderita lupus,'' kisah wanita yang meraih gelar sarjana pendidikan dari IKIP Jakarta ini.

Sebulan kemudian (Juni 1988), ia diperbolehkan pulang dan berobat jalan. Diagnosis penyakit sudah dipastikan yaitu lupus. Ia pun mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi. Walau sudah menjalani pengobatan, tak urung kekambuhan sering terjadi. Dan itu memaksanya untuk kembali menjalani rawat inap di rumah sakit. Bahkan pada tahun 1992, terjadi kekambuhan yang memerlukan pengobatan dengan kemoterapi.

Namun Tiara bukan orang yang gampang putus asa. Di tengah deraan penyakit ini, ia tetap berkeras menuntut ilmu. Ia bahkan sempat kuliah di dua perguruan tinggi sekaligus yaitu Fakulas Sastra Jepang Universitas Nasional (Unas) dan IKIP Jakarta. Tiara masih ingat, betapa ia terpaksa mengerjakan soal-soal UMPTN (pada Mei 1989) dari rumah sakit. Tapi akhirnya ia mesti bersikap realistis. ''Karena kondisi fisik yang tak memungkinkan, saya memutuskan untuk meninggalkan UNAS, dan hanya kuliah di IKIP,'' kata Tiara yang semasa SMA dikenal sebagai gadis yang sangat aktif ini.

Pada Desember 1994, mantan mayoret drum band Lab School ini menikah dengan pria pujaan hatinya, Julio Hardison St Kayo. Seperti halnya wanita yang telah menikah, ia pun ingin memiliki anak. Tiara tahu, lupus bukan halangan baginya untuk mengandung dan punya anak. Benar saja, sebulan setelah menikah, ia positif hamil. ''Tapi karena kondisi lupus yang tak memungkinkan, janin akhirnya dikeluarkan saat berusia 2,5 bulan.'' Tak cukup hanya sekali, Tiara kembali menemui kenyataan pahit pada kehamilan kedua dan ketiga. Pada kehamilan kedua, janin dikeluarkan pada usia 5,5 bulan karena terjadi hambatan pertumbuhan bayi.

Sementara pada kehamilan ketiga, lagi-lagi janin harus dikeluarkan karena masih menjalani pengobatan dengan kemoterapi. Jera kah Tiara untuk hamil lagi? Ternyata tidak. Keinginannya untuk mempunyai anak terus menyala. Berkat rahmat Tuhan, pada Mei 1998 kembali ia mengandung. Berbeda dengan tiga kehamilan sebelumnya, kehamilan yang terakhir ini nyaris tidak ada gangguan. Merasa pusing dan mual pun tidak. Kata Tiara, kehamilan ini terjadi ketika dia mengalami remisi sehingga tidak mengonsumsi obat sama sekali.

Walau begitu, riwayat penyakit lupus yang dideritanya tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan janinnya. Saat kandungan berusia delapan bulan misalnya, diketahui (lewat pemeriksaan USG) berat janinnya hanya 1,6 kg. Padahal normalnya, berat janin di usia itu telah mencapai 2,5 kg. Kala itu, dokter menyarankannya untuk banyak mengonsumsi makanan yang manis-manis dengan tujuan untuk meningkatkan berat janin. Namun usaha itu tak membawa hasil. Buktinya, tiga minggu kemudian, berat janin hanya bertambah sedikit menjadi 2 kg.

Menurut dokter, pertumbuhan janin yang lambat ini disebabkan oleh tidak lancarnya asupan makanan dari tubuh ibu ke janin. Selanjutnya, dokter menyarankan Tiara untuk melahirkan lewat operasi caesar. Ini untuk menghindari keracunan pada bayi akibat kekurangan oksigen. Dan saat-saat yang mendebarkan itu akhirnya datang. ''Alhamdulillah, pada Februari 1999 saya melahirkan dengan selamat, walaupun ada sedikit gangguan di mana saya mengalami kebocoran ginjal yang mengharuskan saya disuplai albumin (human protein).'' Walau terlahir hanya dengan berat 2 kg, bayi yang kemudian diberi nama Kemal Syakurnanda Hardison itu tampak sehat.

Tangisnya kencang. ''Oleh dokter, bayi saya dianggap cukup kuat dan sehat, sehingga hanya masuk inkubator dua hari.'' Alhasil, Tiara pun tak perlu berlama-lama menginap di rumah sakit bersalin. Pada hari kelima, ia dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. ''Saya sendiri heran waktu itu, karena biasanya bayi harus mencapai berat yang standar terlebih dahulu sebelum diizinkan pulang. Tapi dokter bilang, anak saya sehat sehingga boleh pulang.'' Yang lebih membahagiakan, Tiara ternyata juga bisa menjalani proses menyusui dengan normal. Bahkan air susunya bisa dibilang cukup melimpah.

Tak heran, anaknya tumbuh pesat dan tak mengalami hal-hal aneh berkait dengan lupus yang diderita sang ibu. Ini pun terjadi pada anak dari teman-teman Tiara sesama odapus. ''Anak-anak mereka juga berkembang normal dan tak mengalami keluhan apapun,'' terang mantan anggota tim basket POPSI DKI Jakarta 1986-1987 ini. Namun di tengah kebahagiaan menimang anak pertamanya, badai kembali menerjang. Suami tercinta meninggal dunia pada Januari 2001. Kepergian suaminya yang begitu cepat, sempat membuatnya limbung. Tapi perlahan-lahan ia mampu mengumpulkan kembali semangat dan ketegarannya. Apalagi, ia telah memiliki Kemal, buah hatinya yang kini berusia 3,5 tahun.


Blogged on 8:05 PM

|

Comments: Post a Comment

~~~