![]() |
|
Lupus, Penyamar Lihai yang Terus Mengintai Tuesday, May 10, 2005 Kompas - Minggu, 17 April 2005JIKA dilihat sikapnya yang selalu ceria, aktif ke sana ke mari, sibuk menerima telepon yang terus berdering, bercanda dengan putranya, Tiara Savitri (37) tampak seperti perempuan lain yang mempunyai banyak aktivitas. Tidak ada yang menyangka, dalam dirinya bersemayam penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE/lupus), yang bolak-balik menyerang Tiara selama 10 tahun ini. BEGITU juga dengan Cucu Kodariyah (34), penderita lupus yang saat ini sedang dirawat di RS Kramat 128, Jakarta Pusat. Jika lupusnya tidak sedang kumat, setiap pagi Cucu pasti mengayuh sepeda sambil membawa barang dagangan ke sekolah putranya. Ibu dua anak ini paling senang berjualan baju sambil ngobrol dengan ibu-ibu orangtua murid lainnya. Dia juga senang pergi berbelanja ke Mangga Dua, Tanah Abang, atau sekadar cuci mata. Sementara Ririn Anggia (25), yang pertengahan Maret lalu diamputasi kaki kirinya karena lupus, saat ini sudah tidak sabar ingin kembali bekerja dan menulis buku. Seolah-olah tidak ada bahaya lupus yang mengintai dalam diri mereka bertiga. Sampai sekarang sebagian orang belum tahu, bahkan tak mengenal penyakit lupus. Pemerintah juga belum memandang lupus sebagai penyakit yang berbahaya. Usulan untuk menjadikan tanggal 10 Mei sebagai Hari Lupus Nasional misalnya, kabarnya belum direspons Departemen Kesehatan. Lupus sering disebut sebagai penyakit seribu wajah karena munculnya bisa berwujud penyakit lain. Jika menyerang ginjal, sering kali penderitanya divonis penyakit ginjal. Padahal sebenarnya dia menderita lupus. Lupus terjadi tatkala sistem imunitas tubuh berlebihan sehingga tidak bisa membedakan virus atau kuman dengan sel tubuh manusia. Makanya lupus sering disebut penyakit autoimun. Dia menyerang tubuh sendiri. Sebagai perbandingan, jika penderita AIDS kekurangan daya imun tubuh, penderita lupus justru kelebihan. Sampai saat ini belum diketahui penyebab terjadinya lupus. Penyakit ini 97 persen menyerang perempuan pada usia produktif, walaupun ada juga laki-laki yang divonis menderita lupus. Anehnya, lupus lebih sering ditemukan pada perempuan yang sangat aktif atau perempuan amat pendiam. Tiara misalnya, ketika duduk di SMA Lab School Rawamangun, tercatat sebagai mayoret drumband sekolah. Dia juga pernah meraih Juara Harapan II Abang-None Jakarta 1987. Ketika kuliah pun, dia terdaftar sebagai mahasiswi Universitas Nasional dan IKIP Rawamangun. Namun semua aktivitas itu nyaris terhenti ketika lupus mulai bersemayam dalam dirinya tahun 1987. "Tidak pernah terbayangkan saya menderita lupus. Kulit wajah dan tangan saya melepuh, rambut rontok, tubuh panas, Hb menurun. Padahal sejak kecil saya tidak pernah menderita penyakit yang berbahaya," ujar Tiara. Begitu juga Ririn. Sepanjang ingatan ayah Ririn, Hasbullah Nasution (58), Ririn tumbuh dewasa tanpa pernah menderita penyakit tertentu yang bisa menjadi pencetus munculnya lupus. "Paling-paling Ririn hanya diare dan batuk-pilek biasa," ujar Hasbullah. KEHADIRAN lupus memang sulit dideteksi oleh penderita maupun dokter. Surpan Effendi (42), warga Batam, yang sedang berada di Jakarta untuk pengobatan istrinya mengatakan, istrinya, Asnidar (34), baru ketahuan menderita lupus setelah sakit selama 2,5 tahun. "Itu pun saya yang menemukan di internet. Dokter-dokter di Batam tidak berhasil mendiagnosa penyakit istri saya sebagai lupus. Begitu saya bilang ke dokter, Asnidar menderita lupus, baru dokter memberikan obat yang tepat," cerita Surpan bernada gemas. Dia bercerita, setelah dokter memberikan obat yang tepat, sejenis steroid, dalam hitungan hari Asnidar (34) diperbolehkan pulang. "Padahal waktu itu Asnidar sudah dirawat satu bulan 12 hari," ujar pegawai Otorita Batam ini. Kondisi Asnidar mulai memburuk tahun 2002, ketika putranya, Habil, berusia tiga bulan. Ketika itu seluruh persendian kakinya sakit sehingga dia tidak bisa berdiri. Pada kaki kirinya juga sempat muncul luka yang menimbulkan lubang sebesar kuku jari kelingking. "Sekarang luka ini sudah tertutup. Tetapi ketika bolong, pentul korek api bisa masuk ke lubang itu," cerita Asnidar sambil menunjukkan bekas lukanya. Setiap kali sakit, Asnidar pasti dirawat hingga satu bulan lebih. Habil, yang waktu itu masih bayi, harus ikut menginap di rumah sakit bersama ibunya karena tidak ada yang menjaganya di rumah. "Terus terang, saya merasakan masa-masa bahagia berumah tangga hanya sekitar 1,5 tahun. Setelah Asnidar sakit, kehidupan keluarga saya seperti di neraka. Asnidar bolak-balik mencoba bunuh diri dengan loncat dari tingkat empat," cerita Surpan. Asnidar mengaku putus asa karena terus-menerus kesakitan, sementara dokter tidak juga menemukan penyakitnya. Keinginan Asnidar bunuh diri membuat Surpan tidak boleh lengah. "Kalau dada dan kepala saya terbuat dari balon, mungkin sudah pecah dari dulu. Bayangkan saja, anak masih kecil, istri ingin bunuh diri, urusan kantor menumpuk, masih harus mengeluarkan uang untuk pengobatan," ujar Surpan yang pernah merasa ketakutan setiap kali akan masuk rumah karena sering menemukan istrinya tergeletak kesakitan, padahal sebelumnya sehat saja. Surpan mengatakan, setiap kali Asnidar sakit, biaya rumah sakit yang harus dibayar minimal Rp 25 juta. "Tangan saya gemetar ketika pertama kali menandatangani kuitansi pengobatan Rp 64 juta. Untungnya semua biaya pengobatan ditanggung kantor. Hanya saja, setiap kali menerima amplop gaji hati saya deg-degan, dipotong tidak ya gaji saya. Eh ternyata tidak. Sejak itu, saya rajin sekali bekerja," cerita Surpan. KEKHAWATIRAN yang dialami Surpan juga dialami Hasbullah. Ayah dari tiga anak itu selama bertahun-tahun memendam rasa khawatir yang luar biasa. Penyakit lupus yang diderita Ririn sejak tahun 1999 menjadi rahasia antara Ririn dan Hasbullah. Mereka menyimpan rapat-rapat rahasia ini dari anggota keluarga yang lain. "Saya tak ingin ibunya Ririn tahu penyakit anaknya karena dia sendiri ketika itu sedang tidak sehat. Hanya saya dan Ririn saja yang tahu. Ibunya memang suka tanya, kok saya lebih perhatian ke Ririn, ya saya bilang saja, lha namanya juga anak," ujar Hasbullah yang tak ingin keluarganya terlalu "melindungi" Ririn karena penyakitnya. Bagi Hasbullah, apa yang menimpa Ririn bak "bom" yang tak hanya berkekuatan meledakkan, tetapi sampai mengiris-iris hatinya. Apalagi akibat lupus, kaki kiri Ririn harus diamputasi. "Saya sempat ragu dan bertanya-tanya ke beberapa dokter untuk mencari pendapat. Tetapi semua mengatakan hal yang sama, memang harus diamputasi. Berkali-kali saya tanya ke dokter yang akan mengoperasi Ririn, dan ketika dia bilang ’bukan hanya Bapak yang sedih, tetapi hati saya pun sebenarnya tidak tega’, akhirnya saya bisa pasrah, ikhlas kalau memang itu jalan terbaik untuknya," ucap Hasbullah. Hanya keikhlasan pula yang membuat Ririn hingga saat diwawancara Rabu (13/4) lalu bisa tersenyum. Meski sepanjang hidup dia harus waspada karena lupus dalam tubuhnya bisa mendadak muncul tanpa "pemberitahuan" atau tanda apa pun. "Biasanya kalau lagi kumat, badan saya panas dan di bagian tubuh tertentu terasa sakit sekali," ujar Ririn yang saat lupus tidak menyerang bisa beraktivitas seperti biasa, seakan tak ada penyakit yang diam-diam mengintai. Pertama kali sakit, Ririn didiagnosa dokter mengalami kebocoran pada ginjal. Dia diberi obat ginjal. Namun suatu hari di Bandung, tempatnya kuliah, Ririn mengalami lagi panas tinggi. Kali ini disertai bengkak di seluruh badan. Dia pergi ke dokter dan diagnosanya tetap: ada kebocoran pada ginjal. "Saya sempat ke beberapa dokter, sebelum akhirnya seorang dokter di Bandung bilang, saya bukan cuma sakit ginjal, tetapi lupus," cerita Ririn saat pertama kali menerima vonis lupus pada April 2000. Ririn mengabarkan diagnosa dokter kepada ayahnya, dan mulailah Hasbullah mencari informasi tentang lupus, dokter yang bisa dihubungi, dan pengobatannya. Namun kerahasiaan antara ayah dan anak perempuannya ini tak bisa terus berlangsung setelah sekitar lima-enam tahun "hidup bersama" lupus. Sebab, suatu hari Ririn merasa kuku dan kakinya dingin sekali serta kesemutan terus-menerus, bahkan sampai terasa kebal. "Saya coba angkat kaki kiri saya, dan tidak bisa. Itu terjadi akhir Februari, dan di rumah sakit saya harus menjalani operasi vaskuler," cerita Ririn yang melahap buku tentang lupus, pemberian salah satu dokter yang merawatnya. Oleh karena itulah, setiap kali dokter hendak melakukan tindakan pada dirinya, Ririn selalu minta diajak berdiskusi. "Ini kan badan saya, jadi saya harus tahu apa yang mesti saya persiapkan secara fisik maupun mental. Bagaimanapun semua akibat penyakit lupus itu kan saya yang menanggung," ujar perempuan tegar yang mengibaratkan perasaannya saat harus diamputasi bak pohon yang ditebas salah satu batang pokok utamanya. Kini, keberadaan lupus dalam dirinya semakin nyata. Ada "larangan" dokter yang harus dipatuhi Ririn agar lupus tidak memunculkan diri dalam tubuhnya, yaitu menjaga keseimbangan emosi, menghindari batuk dan pilek, dan kenali daya tahan tubuh sendiri. PARAHNYA akibat yang bisa ditimbulkan lupus, membuat Tiara, Cucu, dan Ririn ingin berbagi cerita dan pengalaman pada orang lain. Mereka merasa ketidaktahuan membuat penanganan lupus menjadi terlambat sehingga akibat yang ditimbulkan parah sekali. "Informasi tentang lupus selama ini masih minim. Sebagian orang masih mengenal lupus sebagai tokoh cerita remaja yang gemar makan permen karet, bukan nama penyakit," kata Tiara yang melahirkan Yayasan Lupus Indonesia (YLI) dan sekarang masih menjabat sebagai ketua yayasan tersebut. Saat ini jumlah penderita lupus yang tercatat di YLI 3.000 orang. Tiara, Cucu, serta beberapa penderita lupus lainnya saat ini aktif mengampanyekan lupus kepada masyarakat. Beberapa kali mereka memberikan penjelasan ke ibu-ibu pengurus sekolah se-Jakarta Utara, ibu-ibu Darma Wanita, dan kelurahan-kelurahan. Mereka juga melakukan konseling pada para penderita lupus di rumah sakit. "Pokoknya setiap kali ada pemberitahuan ada pasien lupus baru, saya pasti datang," ujar Tiara yang telah mencuri waktu putra tunggalnya, Kemal (6), karena kegiatan di YLI. Sementara, Ririn mencoba menerima penyakit lupus dengan sikap ikhlas. "Lupus tidak harus membuat dunia saya berakhir. Saya tidak putus asa. Saya malah ingin menulis pengalaman saya supaya bisa berbagi dengan orang lain karena serangan lupus itu bisa terjadi tiba-tiba," kata gadis yang amat energik dan paling tidak bisa tinggal diam ini. Tiara boleh dibilang berhasil "mengalahkan" lupus. Sejak tahun 1998 dia telah berhenti mengonsumsi obat untuk lupus. Walaupun demikian, dia masih harus mengalami keguguran sampai tiga kali karena lupus. "Menurut literatur, hanya lima persen penderita yang bisa lepas dari ketergantungan obat lupus. Kuncinya, saya menerima lupus sebagai bagian dari tubuh saya, lalu mencari celah dari penyakit itu," jelas Tiara yang selalu tampil rapi walaupun sedang sakit. Ternyata celah yang ditemukan Tiara adalah keseimbangan emosi dan mengikuti kemauan lupus. "Jangan malu-malu untuk misalnya rebahan di lantai di tempat umum jika tiba-tiba lupus menyerang. Jika kita sabar mengikuti lupus, serangannya bisa berhenti," kata Tiara. Penderita lupus tidak boleh merasakan emosi berlebihan. Jadi mau senang, sedih, atau marah, dia harus bisa merasa biasa-biasa saja. "Jika saya sedang jengkel sama anak saya misalnya, saya langsung saja mengunci kamar atau pergi. Yang penting, saya tidak melihat wajah orang itu untuk sementara. Dengan begitu, saya bisa menenangkan emosi," katanya. Dengan keseimbangan emosi dan fisik yang selalu dijaga Tiara, dia bisa tetap menjalankan hari-harinya dengan positif. Dia percaya, penderita lupus yang lain pun bisa melakukan hal ini. (CP/ARN)
Comments:
Post a Comment
~~~ |
.:Find Me:. If you interested in content, please contact the Writer: Rusnita Saleh : .:Want to Joint ?:. If you want to know more about lupus surferer's activities and want to donor your help and money, go here Need more consult ?, go here .:acquaintances:.
The Enterprise .:New Book:. .:talk about it:.
.:archives:.
.:Link-link website Lupus:.
Lupus Org .:credits:.
|