![]() |
|
Kasus Lupus di Indonesia Tuesday, May 10, 2005 Jakarta, Kompas - Senin, 09 Mei 2005Meski setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita lupus baru di seluruh dunia, perhatian pemerintah terhadap penyakit ini masih belum begitu besar di Indonesia. Rendahnya perhatian terhadap kasus ini terutama karena belum adanya penyebab pasti, selain jumlah penderitanya yang masih sekitar 5.000 orang di Indonesia. Masalah itu mengemuka dalam seminar sehari bertema "Penyakit Lupus Masalah Besar Indonesia" di aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Minggu (8/5) siang. Seminar yang juga dihadiri para penderita lupus itu menampilkan pembicara dr Yoga Iwanoff Kasjmir SpPD KR dari Divisi Rheumatologi FK-UI, Dr dr Suhardjono SpPD KGH dari Divisi Ginjal dan Hipertensi FK-UI, dengan moderator Prof dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM. Hadir pula dua penderita lupus, Cucu Kodariah yang terkena lupus kulit dan sendi serta Ririn Anggia Puteri (vaskulitis dan ginjal), yang menuturkan pengalamannya. Acara ini untuk menyongsong Hari Lupus Sedunia yang jatuh pada hari Selasa (10/5), yang juga akan diperingati dengan malam renungan di pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, Selasa malam. Sebab belum pasti Rendahnya perhatian pemerintah terhadap kasus ini lebih disebabkan oleh belum adanya penyebab pasti penyakit lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Selain itu, juga karena SLE memiliki sebaran klinis cukup luas. Yoga Kasjmir mengatakan, sebaran gejala SLE bisa ke ginjal, kulit, sendi, jantung, darah, hati, saluran pencernaan, mata, paru-paru, saraf, suhu badan, hingga kejiwaan. Karena itu, simtom awal pada tiap penderita tak selalu sama. "Ada pasien yang terus meriang dan sumang, ada yang tiba-tiba merasa detak jantungnya tidak teratur, ada pula yang lemes-lemes seperti anemia, kulitnya gatal-gatal, batuk berkepanjangan, hingga yang menyerang saraf sampai kejang dan koma," ujarnya. Maka Yoga menggelari penyakit ini berperangai seperti "bunglon". Kalau daunnya merah, ia berubah menjadi merah. Kondisi inilah yang menyulitkan para dokter untuk mendiagnosisnya. Perangai yang berubah-ubah itu juga membuat tingkat kesadaran masyarakat sangat rendah. Seorang penderita lupus kulit dan sendi bercerita, sebelum mengetahui dirinya terkena lupus, ia berobat ke dokter kulit karena tiba-tiba kulitnya merah-merah seperti luka bakar. "Repotnya, meski diobati tidak pernah sembuh, dokter kulit saya tidak pernah merujuk ke dokter lain. Setelah diperiksa di laboratorium baru ketahuan kalau lupus," katanya. Untuk mengatasinya, Yoga menyarankan pendefinisian SLE sebagai prototipe penyakit rematik otoimun kronis dengan sebaran klinis sangat luas, ditandai oleh produksi antibodi berlebihan pada inti sel. Karena otoimun, SLE biasanya berjangka panjang, kronis, dan menyerang bagian-bagian tubuh. Dalam arti bisa ke kulit, ginjal, hati (lever), mata, atau bagian tubuh lain. Untuk memudahkan diagnosis, Yoga mengatakan, setidaknya si penderita memiliki empat dari 11 kriteria ACR (American College of Rheumatology). Kriteria Ke-11 kategori itu mencakup radang sendi, ruam kupu-kupu (malar rash) yaitu merah-merah pada kulit muka, ruam diskoid, fotosensitivitas, serocitis, luka/tukak mulut seperti sariawan berkepanjangan, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, ANA+ (antibodi), dan Ds-DNA (Double Standard DNA). Khusus untuk odapus ginjal atau penderita lupus nefritis, Dr dr Suhardjono menekankan pentingnya biopsi. Yoga mengatakan, tantangan utama SLE di Indonesia terletak pada belum diketahui secara pasti besarnya masalah penyakit tersebut. Ia mengakui, hingga saat ini Indonesia belum memiliki angka pasti jumlah penderita SLE, termasuk angka kekerapannya. Masalah itu hingga saat ini masih terus dikaji oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) bekerja sama dengan Departemen Kesehatan. Sedangkan angka kekerapan di Indonesia, Yoga memprakirakan mencapai 1:4 persen. Angka itu ia ambil dari jumlah pasien yang mengunjungi klinik rheumatologi RSCM. Ia mengakui, jumlah itu masih lebih kecil dibandingkan dengan angka kekerapan di AS yang mencapai 1:1.000, mayoritas diderita oleh kaum perempuan. Ia mengibaratkan, penyakit lupus di Indonesia sebagai "gunung es" yang baru terlihat permukaannya. Prof dr Zubairi Djoerban menambahkan, sebab pasti mengapa hampir 90 persen penderita adalah kaum perempuan belum ditemukan. Namun, diduga adalah peningkatan hormon estrogen yang umumnya ada pada perempuan serta faktor genetik. Zubairi menegaskan, penyebab masalah SLE kurang tertangani dengan baik, terutama karena penyakit lupus belum memasyarakat dan kondisi para dokter yang belum terampil. Hal itu masih ditambah tidak adanya komitmen atau political will dari pemerintah. "Melihat perkiraan jumlah yang tampaknya masih jauh dari keadaan sesungguhnya, maka dengan melakukan ekstrapolasi data penderita lupus di Indonesia bisa lebih besar dari angka di Amerika. Inilah yang perlu diwaspadai di masa mendatang," ujarnya. (RIE)
Comments:
Post a Comment
~~~ |
.:Find Me:. If you interested in content, please contact the Writer: Rusnita Saleh : .:Want to Joint ?:. If you want to know more about lupus surferer's activities and want to donor your help and money, go here Need more consult ?, go here .:acquaintances:.
The Enterprise .:New Book:. .:talk about it:.
.:archives:.
.:Link-link website Lupus:.
Lupus Org .:credits:.
|