Google
Search WWW Search care4lupus.blogspot.com

Wednesday, October 11, 2006

Penderita harus hindari makanan asam dan pedas.

Ramadhan memang bulan yang paling penuh berkah dan karunia Allah SWT untuk umat Islam. Termasuk juga, para penderita Lupus atau disebut juga dengan penyakit misterius alias penyakit seribu wajah itu.

Pasalnya, dengan berpuasa, tubuh penyandang Lupus akan terasa lebih sehat. Bagi penderita Lupus, akan kambuh penyakitnya, bila sistem imun atau kekebalan tubuhnya naik. Akibatnya, antibodi pada tubuh penderita justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas.

Namun, saat berpuasa, sistem imun akan turun sehingga pasien Lupus akan merasa lebih sehat. Menurut Pakar Reumatolog dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dr Rachmat Gunadi Wahjudi SpPD-KR, berdasarkan hasil survei yang dilakukannya pada pasien Lupus, dari 350 pasien yang menjalankan pengobatan, sekitar 70 persen menyatakan tubuhnya lebih enak dengan berpuasa.

Ternyata, kata dia, puasa justru membuat penyakit mereka tidak kambuh. Oleh karena itu, pihaknya menganjurkan kepada pasien Lupus yang dalam keadaan remisi (penyakit dalam keadaan paling ringan atau terkontrol obat) lebih baik menjalankan puasa.

''Dari 350 pasien yang melakukan pengobatan, hanya 30 persen yang tidak dianjurkan berpuasa karena penyakitnya tergolong berat,'' ujar Rachmat kepada Republika.
Rachmat mengatakan, pasien Lupus yang penyakitnya tergolong berat adalah mereka yang mengalami gangguan ginjal, gangguan susunan saraf pusat, gangguan hematologi dan lain-lain. Khusus pasien tersebut, kata dia, sebelum menjalankan puasa, harus berkonsultasi ke dokternya apakah kondisinya dalam keadaan baik atau tidak.

''Penyakit Lupus bisa timbul karena gabungan beberapa faktor, baik faktor genetik ataupun dipicu oleh zat kimia yang membahayakan tubuh. Lupus tidak akan bisa sembuh, tapi ada masa remisi,'' ujarnya.
Menurut Rachmat, pemicu penyakit Lupus itu banyak, salah satunya penggunaan bahan pengawet pada makanan misalnya formalin, pewarna makanan rhodamin B, penggunaan MSG pada makanan, borax dan benzoate. Zat-zat itu, bila diserap tubuh akan mempengaruhi struktur tubuh jadi autoimun.

Kalau kondisi tubuhnya dalam keadaan remisi, Rachmat menganjurkan, sebaiknya berpuasa agar kondisinya bisa lebih baik lagi. ''Saat menjalankan puasa, sebenarnya pola hidup penderita Lupus biasa saja, sama seperti hari biasa. Namun, untuk penderita yang berat, harus menjalankan pola hidup yang lebih hati-hati lagi,'' katanya.
Namun, sambung Rachmat, bila penyakit Lupusnya dalam keadaan aktif, sebaiknya tidak berpuasa. Pasalnya, dikhawatirkan bisa membuat penyakit semakin parah. Hal ini, kata dia, karena dalam masa pengobatan, pasien harus mengonsumsi obat secara berlanjut dan tidak teputus.
Khusus untuk makanan, kata dia, sangat dianjurkan untuk mengonsumsi makanan empat sehat lima sempurna. Buah-buahan dan sayuran segar harus diutamakan untuk menjaga kondisi tubuh. Untuk penderita Lupus, tidak ada pantangan makanan asalkan mengandung protein, karbohidrat, kalsium, vitamin dan mineral boleh dimakan.

''Semua penderita Lupus saat puasa harus meminum air yang cukup, bisa air putih, teh atau jus buah-buahan. Kalau tidak bisa, sehari delapan gelas, minimal harus meminum air 4-6 gelas sehari karena sangat baik untuk tubuh,'' ujarnya.
(kie ) - republika


Blogged on 10:51 PM

|

~~~

Tuesday, October 03, 2006

Setiap hari kita terpajan jutaan kuman. Namun, kita tetap sehat dan afiat, karena tubuh kita punya sistem kekebalan. Tapi bagaimana jika sistem pertahanan itu tak lagi bisa membedakan kawan dan lawan? Wow, sendi-tulang diserang, ginjal dijegal, sel darah merah dipecah, otak dirusak, kulit pun dibuat sakit!
"Penyakit ini betul-betul mengubah pola hidup saya," kata Rusnita Saleh (33), seorang penulis dan konsultan lepas. Wanita yang akrab dipanggil Upay ini mengaku, dulu ia orang yang sangat aktif, produktif, dan bahkan cenderung workaholic. "Dalam sehari saya paling-paling tidur tiga jam," akunya.
Tahun 2002, kariernya sebagai trainer di sebuah perusahaan terkemuka sedang menanjak. Tapi ia merasa ada masalah dengan kesehatannya. Satu kali, ia bangun pagi dan kaget melihat wajahnya bengkak sebelah. Badannya demam, tenaganya hilang. Jika terkena sinar Matahari sebentar saja, rasanya mau pingsan.
Sebelum itu, ia sudah beberapa kali berurusan dengan rumah sakit. Tiap Lebaran, kakinya mengalami nyeri dan meradang. Tapi waktu itu dokter menduga penyebabnya hanya karena kecapaian. Buktinya, begitu minum obat, artritisnya hilang.
Saat hamil pertama, kandungannya gugur. Hamil kedua, ia harus lima kali dirawat inap. Tanpa sebab jelas, badannya gampang sekali merasa lemas. Dari pemeriksaan darah diketahui, hemoglobinnya rendah, padahal ia selalu menyantap makanan bergizi dan rutin berolahraga. Lebih aneh lagi, hemoglobinnya tetap saja rendah, meskipun telah minum obat-obat antianemia.
Bukan cuma dia yang dibikin bingung, dokter pun kerepotan mendiagnosis. Dikira tifus, ternyata bukan. Disangka anemia, ternyata bukan juga. Setelah berkali-kali ke dokter dan menjalani berbagai tes, November 2002 ia dinyatakan menderita lupus nefritis (salah satu bentuk lupus eritematosus sistemik, yang biasa disebut "lupus" saja).
Sejak itu, ia harus berjuang melawan penyakit yang belum bisa disembuhkan secara medis. Jika si lupus sedang mengamuk, seluruh jarinya terasa nyeri hebat, meskipun hanya dipakai untuk mengetik di komputer. Jika berjalan, ia harus menyeret salah satu kakinya, karena rasa nyeri yang tak tertahankan.
Salah satu dokternya bahkan memperkirakan, harapan hidupnya tinggal sekitar tiga tahun. Pada saat yang sama, seorang kawannya meninggal dunia akibat penyakit ini. Nyalinya seolah diuji setiap mendengar berita tentang kawannya sesama ODAPUS (orang dengan lupus) meninggal satu demi satu.
Februari 2003, menjelang berangkat haji, ia menulis surat wasiat, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Tuhan memanggilnya. "Saya tidak menyerah, tapi pasrah," ungkapnya. Lima bulan setelah diagnosis itu, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan merevisi semua ambisi karier berikut ritme hidupnya. Jika sebelumnya ia terbiasa tidur hanya tiga jam sehari, setelah positif lupus, ia harus istirahat sekitar 12 jam sehari dan menjalani pola hidup yang ketat.
Gejalanya bermimikri
Rusnita hanyalah salah satu dari jutaan orang di dunia yang dibuat sakit oleh antibodi tubuhnya sendiri. Kalangan medis menyebutnya penyakit autoimun. Penyakit ini sedikit seksis, karena lebih banyak menyerang wanita daripada pria.
Di seluruh dunia ada jutaan orang yang menderita penyakit autoimun. Menurut Karnen Garna Baratawidjaja, dalam buku Imunologi Dasar (terbitan FKUI), angka kejadiannya diperkirakan sekitar 3,5% dari populasi. Salah satu penyakit autioimun yang populer adalah lupus.
Pada orang sehat, antibodi bertindak sebagai tentara yang melindungi tubuh dari serangan kuman. Sedangkan pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS), sistem kekebalan itu melemah, sehingga mereka sangat rentan terinfeksi.
Pada penderita gangguan autoimun, antibodi menjadi hiperaktif dan liar. Bukan hanya bakteri yang diserang, organ tubuh sendiri pun menjadi sasaran. Karena menyerang kawan sendiri, mereka disebut autoantibodi. Jika sedang liar, autoantibodi ini bisa menjadi ganas.
"Manifestasi penyakitnya bermacam-macam," kata dr. Nanang Sukmana, Sp.PD, KAI, pengajar pada Divisi Alergi dan Imunologi Klinik FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pada sebagian orang, autoantibodi ini menyerang organ tertentu saja, misalnya pankreas atau kelenjar tiroid. Jika menyerang sel pankreas (penghasil hormon insulin), ia bisa menyebabkan diabetes tipe satu (diabetes yang tergantung insulin). Jika menyerang kelenjar tiroid, ia menyebabkan tiroiditis.
Sementara pada sebagian orang yang lain, autoantibodi menyerang secara membabi buta, bukan organ tertentu saja. Pada penderita lupus, misalnya, autoantibodi menyerang banyak organ, sehingga gejalanya sangat baragam. Ketika menyerang kulit, ia bisa menyebabkan ruam di wajah dan sekujur tubuh. Dalam kondisi parah, kulit bisa bersisik dan mengelupas, sehingga tampak seperti ular yang sedang berganti kulit.
Jika menyerang mukosa mulut, ia menimbulkan seriawan yang tak sembuh-sembuh. Saat menyerang persendian, ia menyebabkan artritis rematoid. Artritis inilah yang menyebabkan Rusnita hanya bisa berjalan dengan satu kaki. Ini pula yang menyebabkan jari-jarinya terasa nyeri, meskipun hanya dipakai untuk mengetik.
Lalu jika autoantibodi menyerang sel darah merah, ia menyebabkan anemia. Ini pula yang menjelaskan mengapa anemia Rusnita tak sembuh-sembuh, meskipun ia telah mimun obat-obatan penambah darah. Selanjutnya, jika menyerang ginjal, fungsi filter darah akan menurun. Pada kasus Rusnita, hal itu menyebabkan proteinuria (protein lolos lewat urine)
Karena sifatnya yang pandai bermimikri itulah, dokter pun bisa berkali-kali terkecoh.
Bisa dikendalikan
Hingga kini, penyebab-penyakit di atas masih belum berhasil diungkap tuntas. Obat yang benar-benar menyembuhkan pun belum ditemukan. Obat yang kini tersedia sebatas meredam gejala.
Sepertinya kabar buruk. Meski begitu, penyandang penyakit autoimun tetap punya kabar bagus.
Walaupun tak bisa sembuh, "Penyakit ini bisa dikendalikan sehingga penderita punya kualitas hidup yang baik," jamin Nanang Sukmana. Ia tidak sekadar asal bicara, tapi telah membuktikan sendiri. Saat awal didiagnosis lupus nefritis, penyakitnya sudah stadium tiga, stadium gawat. Tapi dengan perubahan total pola hidup dan disiplin ketat, kini ia bisa menjalankan aktivitas sehari-hari secara normal.
Ia tetap bisa berkebun, memasak, mengurusi anaknya yang masih berumur lima tahun, menulis, menjadi konsultan, bahkan melakukan kegiatan kampanye peduli lupus. Penderita bisa memperoleh kualitas hidup yang baik, asalkan disiplin menjalani terapi farmakologis dan pengaturan pola hidup. "Keduanya sama penting. Jangan sampai hanya mengandalkan obat saja," saran Nanang.
Supaya antibodi tidak hiperaktif, ia harus diredam dengan obat-obat imunosupresan. Susahnya, ketika sistem kekebalan ditekan, tubuh jadi lebih gampang terkena infeksi. Ditambah lagi, terapi ini juga menimbulkan efek negatif lain, misalnya risiko pengeroposan tulang dan peningkatan kadar gula darah.
Obat-obat tertentu menyebabkan pemakainya mengalami perubahan psikologis menjadi sensitif: gampang marah dan sedih.
Karena banyaknya efek negatif ini, terapi penyakit autoimun harus betul-betul menimbang rasio antara risiko dan manfaat. Untuk mencegah pengeroposan tulang, pasien harus mendapat cukup asupan kalsium, baik dari makanan maupun dari suplemen.
Selain terapi farmakologis, penderita penyakit autoimun juga harus sungguh-sungguh memerhatikan pola hidupnya. Semua pemicu harus dihindari sejauh-jauhnya. Salah sedikit saja, autoantibodinya bakal mengamuk. Nanang Sukmana dan Rusnita punya beberapa resep.
Pertama, hindari stres. Urusan ini memang gampang diucapkan, tapi praktiknya tak semudah bicara. Berdasarkan pengamatan Nanang, kebanyakan pasiennya mengalami perubahan kejiwaan setelah 3 - 6 bulan sejak didiagnosis menderita lupus. Bentuknya mulai dari stres ringan sampai depresi.
Umumnya, mereka sedih karena memikirkan penyakit yang mereka derita. Maklum, penyakit ini tergolong berat dan membutuhkan perawatan jangka panjang atau bahkan seumur hidup. Belum lagi masalah sosial akibat penyakit ini. Pada lupus yang menyerang kulit, penderita (terutama wanita) bisa mengalami depresi karena merasa tak cantik lagi.
Keadaan itu bakal diperparah oleh fakta, bahwa penderita tidak bisa seproduktif semula. Seperti yang terjadi pada Rusnita yang terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya. Kondisi itu persis seperti lingkaran setan. Lupus membuat penderita stres. Sedangkan stres membuat lupus semakin berat.
Pada pasien dari kelas ekonomi pas-pasan, vonis lupus bisa menimbulkan problem fulus. Sebagai gambaran, saat awal mendapat terapi, Rusnita harus menyiapkan minimal Rp 5 juta tiap bulan. Itu hanya untuk obat, belum biaya perawatan tubuh untuk menghindari efek negatif lupus di kulit. Sekarang, di masa remisi (tahap penjagaan), ia masih harus merogoh kocek minimal Rp 2 juta per bulan.
Karena masalah-masalah itulah, dokter, keluarga, dan lingkungan harus turut memberi pengertian dan dukungan agar pasien tetap tenang. Ketenangan jiwa bisa diperoleh lewat banyak cara. Sebagian orang mungkin menemukan ketenangan lewat meditasi dan belajar memahami makna hidup. "Kalau saya, meditasinya salat tahajud," kata Rusnita.
Resep kedua, hindari kelelahan. Mirip stres psikis, kelelahan fisik juga bisa membuat autoantibodi tak terkendali. "Orang seperti saya harus strategis mengatur jadwal, jangan sampai capek. Jangan terlalu banyak bikin janji," kata Rusnita.
Dalam berolahraga pun, penderita sebaiknya menghindari jenis olahraga yang terlalu membebani tubuh. Yang penting, tubuh terlatih tanpa menimbulkan rasa capek yang berlebihan.
Resep ketiga, kembali ke alam. Kita tahu, makanan masa kini banyak mengandung bahan-bahan tambahan sintetis. Bagi tubuh bahan-bahan yang tidak alami itu dianggap sebagai benda asing. Semakin banyak bahan makanan sintetis masuk ke dalam tubuh, semakin besar risiko autoantibodi kembali aktif. "Kalau pingin jeruk, ya makan buah jeruk saja," kata Nanang mencontohkan.
Resep keempat, hindari faktor-faktor pemicu lain seperti asap rokok, infeksi, sinar Matahari antara pukul 09.00 - 16.00, dan kontrasepsi oral (pil KB). Yang tak kalah penting, penyakit ini harus dideteksi sedini mungkin. Jika terlambat, dikhawatirkan organ-organ vital telanjur rusak. Dengan mengetahui lebih awal, kerusakan bisa dicegah.
Jika memang sudah suratan, autoantibodi boleh ada di dalam badan. Tapi jangan sampai mereka punya alasan untuk menjadi senjata makan tuan. ***

Penulis: M. Sholekhudin

source : kompas
diterbitkan juga di Intisari, Juni 2006


Blogged on 11:20 PM

|

~~~

Many "fat-free" foods actually have the same number of calories as theirregular counterparts. Food manufacturers often replace fat with sugar --leaving the calories the same. And if you're trying to lose weight, that'sno bargain: All calories count. Always check the calories, sugar andcarbohydrate totals on fat-free cookies, cakes and other similar foods.While they are generally better for you than higher-fat products, don'texceed the serving size -- those "fat-free" calories are easily convertedinto fat in your body if you eat too many of them.

_____ Which sounds more appealing: dried plums or prunes? Manufacturers have takento calling the tasty prune (which had acquired an indisputable reputation asa digestive cure), the dried plum. It's a terrific source of both solubleand insoluble fiber, magnesium, potassium, and antioxidants. Whatever youcall them, they make a terrific on-the-go snack, mix-in for yogurt, or saladextra!

_____ Don't get mad next time someone tells you to "Take a hike!" -- thank themfor the good fitness advice! Hiking gets you out in a natural environment,promotes relaxation and enhances creativity, not to mention toning yourlegs, buttocks and back muscles

_____ PARIS (AFP) - Calcium supplements fail to provide long-term strengthening ofbones, according to a study that touches on osteoporosis, a disease commonlyfacing woman after the menopause. The paper, published online by the British Medical Journal (BMJ), is areview of 19 major studies that involved nearly 2,900 healthy children agedbetween three and 18. They included children who were given calcium supplements for at least threemonths and whose bone health was then monitored more than six monthsafterwards.

Children taking the supplements only had 1.7-percent better bone density intheir upper limbs compared to counterparts who did not take the extracalcium.This small benefit did persist in the upper limbs, but there was nosignificant effect on the rest of body, particularly at sites such as thehip and lower spine that are prone to fracture later in life.Bone density diminishes among women after the menopause, so doctors are keento boost bone mass early in life through diet and exercise."The small effect of calcium supplementation on bone mineral density in theupper limb is unlikely to reduce the risk of fracture, either in childhoodor later life, to a degree of major public health importance," the papersays.
It suggests other dietary paths, such as taking more vitamin D -- producednaturally by the skin's exposure to the Sun and present in oily fish -- andeating more fruit and vegetables.


Blogged on 10:49 PM

|

~~~